NUIM HIDAYAT

Puasa dan Politik

Alhamdulillah kini kita memasuki hari kedua Ramadhan 1442 Hijriyah. Di ramadhan ini kita bersyukur karena dapat melakukan ibadah di masjid. Meski ada masjid yang masih menjarangkan shafnya, tapi masyarakat kini banyak yang antusias ke masjid. Masjid-masjid kini penuh dengan orang shalat tarawih di malam harinya.

Banyak peristiwa penting yang terjadi di bulan Ramadhan. Dua hal yang monumental dalam sejarah Islam adalah kemenangan umat Islam dalam Perang Badar dan Fathu Makkah. Dua peristiwa besar itu menyemangati kaum Muslim berikutnya dalam memperjuangkan Islam.

Dua peristiwa itu adalah peristiwa politik. Bahkan Perang Badar bisa disebut bukan hanya politik, tapi perang. Perang memang merupakan bagian dari politik. Perang dilakukan bila lobi-lobi politik tidak berhasil.

Maka dalam Islam, bulan Ramadhan tidak menjadikan umat Islam berhenti dari aktivitas politik. Selain ibadah ruhiyah digencarkan, ibadah dalam bidang politik juga tidak boleh kendur. Apalagi bila umat Islam dalam keadaan dizalimi, seperti sekarang ini. Ingat proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945 diproklamirkan bertepatan dengan 9 Ramadhan.

Rasulullah Saw menyatakan bahwa barangsiapa tidak memikirkan urusan kaum Muslimin, maka ia tidak merupakan bagian mereka. Maka dalam bulan Ramadhan, Rasulullah selain mendidik para sahabat di masjid juga mendidik mereka dalam peperangan. Yakni melakukan jihad melawan orang-orang kafir yang menzalimi Islam. Bahkan banyak dikisahkan bahwa para sahabat yang maju dalam peperangan tetap bugar dan tidak merasakan kelaparan atau kehausan.

Kini kaum Muslim Indonesia merasakan kesumpekan dalam bidang politik. Banyak tokoh dan aktivis ditahan tanpa alasan yang jelas. Dua mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Prof Amien Rais dan Prof Din Syamsuddin berdiri di barisan paling depan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan umat Islam. Mulai dari membubarkan ormas-ormas Islam, menangkapi tokoh-tokoh umat, melarang penceramah-penceramah yang kritis kepada pemerintah dan lain-lain.

***

Kita tahu, politik adalah sektor yang sangat penting dalam kehidupan umat. Kebijakan pendidikan terkait dengan politik, kebijakan ekonomi terkait politik, kebijakan pendidikan terkait dengan politik, begitu juga kebijakan budaya, militer dan lain-lain terkait dengan keputusan politik. Jadi bila Islam tidak diperbolehkan bicara politik –seperti diserukan tokoh-tokoh sekuler- apa Islam disuruh hanya bicara soal wudhu dan shalat saja? Padahal dalam Al-Qur’an, ayat-ayatnya berjubel dengan peristiwa politik, tokoh-tokoh politik dan akhlak politik. Al-Qur’an mengisahkan tokoh-tokoh politik (pemimpin) yang zalim dan yang shaleh. Ayat-ayat Al-Qur’an bicara tentang politik ekonomi, politik budaya, politik pendidikan dan lain-lain. Begitu pula dalam Hadits dan sejarah Islam.

“Agama adalah pondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu tanpa adanya pondasi akan rusak dan jika tidak dijaga, ia akan hilang,” kata Imam Ghazali, tokoh besar Islam yang kitab-kitabnya menjadi kajian di pesantren-pesantren.

Pendiri gerakan Islam terbesar di dunia, Ikhwanul Muslimin, Imam Hasan al Bana menyatakan:  “Dengan lantang saya kumandangkan bahwa keislaman seorang Muslim belum sempurna, hingga ia memahami masalah politik, mendalami persoalan-persoalan aktual yang menimpa umat Islam serta punya perhatian dan kepedulian terhadap masalah keumatan. Dalam kesempatan ini, dengan lantang saya ungkapkan bahwa pendikotomian agama dengan politik tidak diakui oleh Islam. Karena setiap pergerakan Islam sejak awal harus meletakkan misi dan programnya menyangkut masalah kepedulian terhadap problematika politik umat. Karena bila tidak, berarti pergerakan Islam tersebut mesti mengkaji pemahaman konsep Islam mereka kembali.”

Hasan al Bana masuk dalam peperangan keras untuk menolak berbagai faham yang keliru tentang hubungan antara agama dan politik/negara. Sang Imam menyerukan bahwa negara tidak bisa dipisah dengan agama (Islam). Dalam salah satu risalahnya ia menyatakan,”Jika kalian ditanya, kemana kalian menyeru? Katakanlah kami menyeru kepada Islam yang didatangkan oleh Rasulullah Muhammad saw. Dan pemerintahan adalah bagian darinya. Serta kebebasan adalah diantara kewajibannya. Jika dikatakan kepada kalian: “Ini adalah politik.” Katakanlah: Kami tak mengenal pembagian seperti itu.”

Hasan al Bana menjawab kepada orang yang mengatakan,”Sesungguhnya al Ikhwan al Muslimun adalah organisasi politik dan seruan yang mereka kumandangkan adalah kampanye politik.” Al Bana mengatakan,”Wahai kaum kami, sesungguhnya kami menyeru kalian kepada Al-Qur’an yang ada di tangan kanan kita dan Sunnah di tangan kiri kita. Kami menyeru pada perilaku salah shalih dari generasi umat yang menjadi teladan kami. Kami menyeru kalian pada Islam dan nilai-nilai Islam serta hukum Islam. Jika ini kalian anggap sebagai politik, maka itulah politik kami. Jika yang diserukan untuk kalian adalah kepada prinsip itu disebut politik, maka kamilah orang yang –alhamdulillah- paling politik. Jika kalian namakan itu adalah politik, maka katakanlah apa yang kalian kehendaki. Label dan sebutan itu takkan membahayakan kami, jika label itu sudah terlihat jelas dan terungkap tujuannya.”

***

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button