KH Hasyim Asy’ari Tak Masuk Kamus Sejarah Indonesia, Bukhori Yusuf: Insiden Fatal dan Serius
Jakarta (SI Online)-Beredar di masyarakat draf naskah Kamus Sejarah Indonesia yang menghilangkan Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), dalam daftar tokoh yang berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tak pelak hal ini menjadi polemik karena menuai protes dari banyak kalangan khususnya warga Nahdliyin.
Terbaru, pemerintah melalui Kemendikbud akhirnya memberikan klarifikasi bahwa draf naskah softcopy yang disusun sejak 2017 itu adalah buku yang tidak pernah diterbitkan secara resmi oleh Kemendikbud.
Anggota Komisi Agama DPR RI Bukhori Yusuf menyesalkan sikap gegabah tim penyusun yang mengabaikan kaidah historiografi Indonesia yang objektif. Menurutnya, kiprah ulama maupun tokoh Islam lainnya berhak memperoleh kedudukan yang proporsional dalam narasi sejarah bangsa. Pasalnya, eksistensi mereka, secara autentik, telah mewariskan sumbangsih signifikan bagi usaha pendirian republik.
“Insiden ini sangat fatal dan harus disikapi serius,” ungkap Bukhori dalam keterangan tertulisnya, Selasa (20/04/2021).
Dengan kata lain, lanjut Bukhori, upaya melenyapkan profil Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dalam ingatan generasi tentang sejarah bangsa kita adalah perilaku ahistoris dan kontraproduktif bagi pengembangan wawasan kebangsaan kita.
“Tidak cukup sampai disitu, minimnya porsi ulama dalam narasi sejarah kita juga mengindikasikan historiografi kita yang diskriminatif dan kolonialistik,” ungkap Anggota Fraksi PKS itu.
Menghapus Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dalam memori intelektual kita, lanjut Bukhori, adalah pengkhianatan terhadap amanat Bung Karno untuk tidak sekali-kali melupakan sejarah sekaligus bentuk pengabaian peran umat Islam dalam mendirikan dan mempertahankan republik.
Politisi yang pernah menjabat sebagai Ketua IPNU Jepara ini juga mengritik penulisan sejarah Indonesia yang tertuang dalam buku formal sekolah. Menurutnya, penulisan sejarah dalam buku tersebut tidak jarang berwatak Belanda-Sentris/Eropa-Sentris dan kurang kritis secara metodologi. Sehingga, ia mendorong terobosan baru dalam historiografi Indonesia.
“Fenomena ini akhirnya membuat kita datang pada suatu kesadaran untuk meninjau kembali Historiografi Indonesia yang tertuang dalam buku-buku formal di sekolah dimana sedikit sekali mengungkap peran ulama dan santri dalam perjuangan penegakan kedaulatan hingga mempertahankan NKRI,” imbuhnya.
Indonesia sebagai negara yang berdasarkan ketuhanan, lanjutnya, tidak sepenuhnya compatible dengan narasi sejarah yang dibangun dari konstruksi berpikir yang sekuleristik sebagaimana dituliskan oleh para sejarawan barat dan orientalis.
red: farah abdillah