Menghidupkan Kembali Hati yang Telah Mati
Dalam Surat Al-Anfal ayat 24 Allah SWT berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَجِيبُوا۟ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ ٱلْمَرْءِ وَقَلْبِهِۦ وَأَنَّهُۥٓ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila ia menyerumu pada sesuatu yang memberikan kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dengan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu dikumpulkan.”
Ada sekerat daging di dalam diri kita, jika itu baik maka baik hidup kita, bila itu buruk maka buruk hidup kita. Segumpal daging itulah yang disebut dengan jantung secara anatomi dan subtansi harfiah. Namun, dalam subtansi maknawi, segumpal daging itulah kalbu atau hati. Kalbu adalah alam dalam jiwamu dan yang menentukan siapa dirimu. Itulah subtansi diri kita.
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung).” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Mari kita masuki rahasia terdalam yang ada dalam kalbu. Di sini, kadang tidak semua manusia mampu dan mau menyelaminya dengan baik. Padahal inilah sebenarnya kunci berbahagia atau merasa nelangsanya kita hidup di dunia ini.
Dalam ayat 24 surat Al-Anfal, Allah menegaskan bahwa Ia berada di antara manusia dengan kalbunya. Artinya, Ia dekat sekali dengan seorang hamba dan tidak ada yang dapat disembunyikan oleh seseorang dari Allah Azza wa Jalla. Karena, sejatinya hanya kepada-Nya setiap urusan manusia berasal dan hanya kepada-Nya kelak segala apa yang ada dalam hidup seorang hamba akan berpulang dan berkumpul dalam genggaman-Nya. Termasuk hati dan nyawa.
Oleh karena itu, Allah ingin menegaskan pada hamba-Nya bahwa dengan hati pula Ia dapat melihat “siapa sebenarnya” hamba-Nya. Seorang yang benar-benar ikhlas menyembah kepada-Nya dan apa adanya melakukan segala hal demi taat; atau hanya berpura-pura taat karena ada apa-apanya.
Sungguh, untuk mengetahui dan menguji kualitas seorang hamba pula, Ia-lah Yang Maha menguasai dan menguasai hati ciptaan-Nya. Oleh karena itu, ada saatnya kita tidak menginginkan sesuatu, tetapi harus dikerjakan . Ada kalanya kita inginkan sesuatu, tetapi sekeras apa pun usaha yang kita lakukan, tetap tidak bisa kita dapatkan. Inilah sesungguhnya titik kritis antara iman dengan kufur, antara taat dengan maksiat.
Seperti, ada orang kafir yang sesungguhnya mengagumi orang-orang beriman. Namun, ada semacam penghalang dalam kalbunya yang membuatnya terseret menjauh dari nuraninya. Semakin ia ingin mendekat pada iman, semakin terseret ia menjauh dari keimanan yang ingin genggamnya. Atau, terkadang ahli maksiat juga tidak ingin terus menerus berbuat maksiat dan berkubang di dalam kemaksiatan. Namun, ada semacam sekat di dalam hatinya membuat dia tidak kuasa menolak kemaksiatan dan akhirnya terus-menerus terjerembab di dalam “lumpur hidup” kemaksiatan.