NASIONAL

Anehnya RUU Ciptaker: Kiai Bisa Dipenjara tapi Pasal Sanksi Pemberi Ijazah Palsu Malah Dihapuskan

Jakarta (SI Online) – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, mempertanyakan dihapusnya Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 dalam UU Sisdiknas melalui Omnibus Law RUU Ciptaker yang saat ini sedang dibahas DPR.

Padahal, ketentuan itu memuat sanksi pidana bagi para penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah atau gelar akademik tanpa hak dan setiap orang yang menggunakan ijazah atau gelar akademik terbukti palsu.

“Di sinilah salah satu keanehan Omnibus Law RUU Ciptaker. Pasal 71 UU Sisdiknas yang berpotensi mengkriminalisasi Pesantren atau lembaga pendidikan keagamaan malah dipertahankan, tetapi Pasal yang memberikan sanksi terkait ijazah palsu justru dihapuskan,” ujar HNW dalam keterangan tertulisnya, Selasa 1 September 2020.

Baca juga: HNW: Sanksi Pidana untuk Kiai dalam RUU Ciptaker Harus Ditolak

Anggota Komisi VIII DPR itu menilai RUU Ciptaker itu seharusnya menguatkan sanksi pidana kepada para penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah palsu atau pemberi gelar akademik.

“Demikian pula dengan penyelenggara Pesantren, harus didukung dan tidak malah dibuka celah hukum untuk kriminalisasi,” pungkas HNW.

Pada bagian lain, HNW mengapresiasi langkah Kementerian Agama yang memberikan klarifikasi dan mengeluarkan siaran pers untuk menjelaskan sanksi pidana terhadap penyelenggara satuan pendidikan dalam Omnibus Law RUU Ciptaker tersebut tidak berlaku untuk Pesantren karena telah hadir Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

“Pernyataan Menag bahwa dalam konteks ini berlaku asas lex spesialis derogat deli generali, yakni aturan UU Pesantren yang bersifat khusus mengesampingkan aturan dalam Omnibus Law RUU Ciptaker, patut disosialisasikan dan didukung. Namun, pernyataan itu belum cukup,” ujarnya.

HNW menjelaskan, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, akan lebih baik dan efektif apabila asas itu disebutkan definitif ke dalam norma/pasal suatu undang-undang.

Menurutnya, hal tersebut dapat meminimalisasi sengketa penafsiran di kemudian hari oleh aparat penegak hukum di lapangan, sehingga bisa berujung kepada kriminalisasi Pesantren dan para Kiai/Ustad Pengelola Pesantren.

“Apa jaminannya polisi, jaksa atau hakim akan mengikuti cara berpikir Menag tersebut, ketika teks perundang-undangannya berbunyi seperti itu. Itu lah sebabnya pengecualian atau pengkhususan tersebut perlu ditulis secara tegas dalam UU Cipta kerja. Menag harus bisa memastikan bahwa asas lex spesialis untuk lembaga pendidikan keagamaan seperti Pesantren itu disebutkan sebagai pengecualian dalam Omnibus Law RUU Ciptaker untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para penyelenggara pendidikan Pesantren agar tidak dikriminalisasi,” tukasnya.

HNW juga menyadari bahwa ketentuan Pasal 71 ayat (1) juga bukan hal yang benar-benar baru karena juga diatur dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Namun, ia menilai munculnya kembali ketentuan tersebut dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja telah membangkitkan kewaspadaan umat Islam agar kriminalisasi tidak dijatuhkan kepada penyelenggara Pesantren baik tradisional maupun modern.

red: farah abdillah

Artikel Terkait

Back to top button