NUIM HIDAYAT

Bahasa dan Tauhid

Menurut Prof. Syed Mohammad Naquib al Attas yang kemudian diikuti oleh Prof. Braginsky (1989,1993), pekerjaan kalam –istilah yang merujuk pada kegiatan penulisan—adalah tonggak kebudayaan Melayu, yang mengakar umbi selepas kedatangan Islam ke rantau ini.  Menurut beliau, di bawah pengaruh Islam, orang Melayu mula sadar tentang kewujudan sastera sebagai satu entiti yang utuh, yang menjadi sebahagian integral hidup mereka (lihat Prof. Ungku Maemunah Mohd Tohir, Kritikan Sastera Melayu, Antara Cerita dan Ilmu, 2007).

Ulama terkemuka Melayu lainnya, Syekh Ahmad al Fathani (1856-1908 dari Pattani) juga pernah mengirim surat kepada Sultan Zainal Abidin, Sultan Trengganu, agar sultan-sultan berperan aktif dalam menyebarkan ilmu di masyarakat.

Ia menulis: ”Aku berharap semoga bangsa Melayu dapat maju dengan pimpinannya dan dapat mencapai kemuncak peradaban kesejahteraan. Aku berharap semoga baginda berkenan menyebarkan ilmu, makrifat dan petunjuk. Lalu baginda menjadi kegembiraan dan rakyat mendapat kejayaan. Agar mereka dapat membukukan bahasa Melayu. Karena aku bimbang ia akan hilang atau dirusak oleh perubahan yang berlaku dari masa ke masa. Begitu pula hendaklah mereka mengarang sejarah Melayu yang meliputi segala perihal orang Melayu. Kalau tidak, mereka nanti akan hilang dalam lipatan sejarah. Wahai para cerdik pandai. Hidupkanlah sejarah bangsamu. Dengan itu kamu akan disebut dalam sejarah dan namamu akan harum sepanjang masa. (lihat plakat Khazanah Fathaniyah oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah).

Bahasa dan Makrifatullah

Raja Ali Haji sebagai peletak dasar bahasa Melayu ini patut untuk direnungkan. Yang membedakan antara Raja Ali Haji dengan tokoh-tokoh bahasa Melayu/Indonesia sekarang adalah terikat atau lepasnya belajar bahasa dengan keberadaan pencipta (Sang Khaliq yang mencipta mulut dan otak manusia). Bila Ali Haji sangat menekankan hubungan yang erat antara bahasa, akal dengan pengakuan adanya Allah SWT, maka saat ini pelajaran bahasa cenderung bersifat sekuler. Yakni, seperti yang diungkapkan Gorrys Keraf, bahasa berfungsi sebagai alat untuk mengekspresikan diri, alat untuk berkomunikasi, alat untuk integrasi atau adaptasi sosial dan alat untuk melakukan kontrol sosial.

Pelajaran bahasa yang membebaskan manusia dari penciptanya, maka menjadikan bahasa itu digunakan seenaknya. Hilang adab berbahasa. Maka muncullah kemudian bahasa-bahasa atau kata-kata yang tidak bermutu, termasuk dalam hal ini kata-kata porno, kata-kata kasar dan lain-lain. Dan inilah yag membedakan antara Raja Ali Haji dan tokoh-tokoh ahli bahasa Islam dengan tokoh-tokoh lainnya.

Karena itu para ulama kita betul-betul memikirkan tentang penggunaan kata. Misalnya ketika para ahli pendidikan Islam dulu meluncurkan kata murid. Mereka berharap bahwa anak-anak yang disebut murid itu diharapkan mempunyai cita-cita, mempunyai kehendak menjadi lebih baik dan seterusnya. Sebab murid berasal dari kata Arab araada-yuriidu-muriidan. Sayangnya kini kata itu pelan-pelan dihapuskan digantikan dengan kata siswa. Entah siapa yang memulai, tapi kemungkinan diambil dari kata Taman Siswa Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia yang pernah lama belajar di Belanda.

Begitu juga dulu para ulama memperkenalkan bahasa Melayu/Indonesia dengan tulisan Arab Melayu atau Arab Jawi. Mereka berharap agar masyarakat terbiasa dengan huruf Al-Qur’an. Tapi pelan-pelan huruf Arab ini pun dihapuskan, diganti dengan huruf Latin. Sehingga tidak banyak sekarang para pelajar yang mempunyai kemampuan menulis atau membaca huruf Arab Melayu. Padahal banyak karya ulama atau intelektual kita dulu tertulis dalam bahasa Arab Melayu. Para pelajar pun banyak yang diputus pelajarannya dari karya-karya ulama dulu, diganti dengan buku-buku masa kini yang kebanyakan ’menjiplak dari pakar-pakar Barat’.

Pelajaran bahasa kini kebanyakan ’otak atik kata dan fakta’ dan kering dari nasihat. Sulit bagi kita menemukan lagi pakar bahasa yang nasihatnya sangat berharga dan mendalam seperti Raja Ali Haji dalam Gurindamnya ini:

Barang siapa tiada memegang agama,
Sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.
Barang siapa mengenal yang empat,
Maka ia itulah orang yang ma’rifat
Barang siapa mengenal Allah,
Suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.
Barang siapa mengenal diri,
Maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri.
Barang siapa mengenal dunia,
Tahulah ia barang yang teperdaya.
Barang siapa mengenal akhirat,
Tahulah ia dunia mudarat.

Jika hendak mengenai orang berbangsa,
lihat kepada budi dan bahasa,
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia,
sangat memeliharakan yang sia-sia.
Jika hendak mengenal orang mulia,
lihatlah kepada kelakuan dia.
Jika hendak mengenal orang yang berilmu,
bertanya dan belajar tiadalah jemu.
Jika hendak mengenal orang yang berakal,
di dalam dunia mengambil bekal.
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai,
lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.
[]

Nuim Hidayat, Penulis Buku Imperialisme Baru

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button