Global March to Gaza dan Kematian Nurani Dunia

Utara Gaza menjadi wilayah paling kelaparan di dunia saat ini. Banyak korban tewas bukan akibat perang lansung, melainkan karena kelaparan dan kekerasan saat antre untuk mendapatkan bantuan makanan. Sedihnya, kelaparan dan malnutrisi akut mengancam bayi-bayi, anak-anak, dan perempuan.
Ironisnya, desakan global untuk membuka akses bantuan yang makin nyaring, justru berbanding terbalik dengan sikap para pemimpin dunia yang bergeming.
Krisis kemanusiaan akut di Jalur Gaza memicu gelombang aksi global di berbagai belahan dunia, salah satunya aksi Global March to Gaza. Aksi ini merupakan gerakan sipil internasional antiperang dan nonpartisan yang melibatkan 4.000 aktivis yang berasal lebih dari 50 negara. Para aktivis ini dijadwalkan berkumpul di Kairo sejak 12 Juni 2025 dan berencana berjalan kaki dari Arish ke perbatasan Rafah pada 15 Juni 2025.
Para aktivis tersebut berencana menginap hingga 72 jam di sana untuk menyerukan penghentian blokade dan tekanan global terhadap Zionis Yahudi. Sayangnya, aksi tersebut tidak berjalan mulus. Dengan dalih menjaga keamanan dan stabilitas dalam negeri, Pemerintah Mesir melakukan penahanan dan deportasi terhadap sekitar 200 aktivis sejak kedatangannya di Kairo karena masalah perizinan. (apnews.com, 13 Juni 2025).
Miris memang, Mesir sebagai salah satu negeri Muslim yang menjadi pintu masuk ke Jalur Gaza justru tampak tak berdaya karena berada di bawah tekanan AS dan Zionis Yahudi. Memilih berada di zona aman daripada menjadi martir bagi saudaranya, kaum Muslim di Palestina, demi mengamankan kepentingan ekonomi dan politiknya di hadapan AS dan Zionis Yahudi.
Sikap pemimpin Mesir sejatinya adalah cerminan sikap para pemimpin dunia saat ini, tak terkecuali sikap para pemimpin negeri-negeri Muslim. Mereka hanya berani mengecam, tanpa tindakan nyata untuk mengirimkan pasukan militer untuk membebaskan Palestina dari genosida yang dilakukan oleh Zionis Yahudi laknatullah.
Sungguh, situasi ini mencerminkan kematian rasa kemanusiaan. Padahal membela sesama manusia yang tertindas adalah fitrah setiap insan. Ketika para pemimpin dunia tidak lagi tersentuh oleh penderitaan anak-anak dan perempuan yang menjadi korban kebiadaban, berarti ada yang sangat keliru dalam nilai yang mereka anut.
Sejatinya, apa yang kita saksikan hari ini adalah buah dari sistem kapitalisme global. Sistem yang menempatkan kepentingan ekonomi dan politik di atas nilai-nilai kemanusiaan. Ketika pelanggaran berat terhadap hak hidup manusia dibungkam demi aliansi strategis dan stabilitas dalam negeri, kemanusiaan menjadi sekadar jargon kosong.
Tak hanya kapitalisme, nasionalisme sempit yang diwariskan dari ide Barat juga turut andil. Ide ini sukses mengkotak-kotakkan umat Islam dalam batas-batas negara bangsa, membuat penderitaan kaum Muslim di Palestina seolah bukan tanggung jawab dari negeri-negeri Muslim lainnya. Padahal mereka adalah satu tubuh, jika salah satu bagian tubuh sakit semestinya yang lain ikut merasakan sakitnya.
Tidak sedikit para ulama dunia yang telah berulang kali menyerukan jihad, tetapi para pemimpin dunia Islam yang berada dalam pusaran sistem kapitalisme-demokrasi saat ini tidak akan pernah meresponsnya. Sebab, negara-negara di dunia Islam hari ini tidak berdiri atas dasar ideologi Islam.
Mereka justru banyak bersekutu dengan penjajah dan tunduk pada tekanan negara-negara besar.
Sungguh, tercatat dalam tinta emas sejarah Islam bahwa hanya Daulah Islam, Khilafah, yang mampu memobilisasi kekuatan kaum Muslim untuk membebaskan wilayah yang dijajah. Hanya Khilafah yang dapat menyatukan potensi besar dunia Islam, baik secara militer, politik, maupun ekonomi, untuk menghentikan kezaliman seperti yang kini terjadi di Gaza, Palestina.