NUIM HIDAYAT

Hikmah Tragedi WTC 11 September 2001

Bila pasukan Amerika berani mundur dari Afghan, maka negara adi daya itu harusnya juga mundur dari Irak. Bila AS mau mundur dari Irak, mungkin masalah ISIS tidak akan muncul lagi. Tapi apakah Amerika mau? Nampaknya minyak Irak terlalu menggiurkan bagi Amerika untuk meninggalkan negeri itu.


Bagaimana dengan kita di Indonesia menyikapi fenomena dunia internasional saat ini? Alhamdulillah tanah air kita kini dalam kondisi damai, bukan kondisi perang. Maka dalam perjuangan Islam, cara-cara damai yang digunakan.

Seperti kita tahu, selain menyebarkan perang fisik ke Timteng, Amerika juga menyebarkan perang pemikiran ke dunia Islam. Dan inilah yang sekarang kita alami, ghazwul fikri. Peperangan pemikiran ini tak kalah dahsyat dengan perang fisik bagi mereka yang menggelutinya.

Amerika mengeluarkan jutaan dolar untuk menyebarkan ide-idenya kebebasannya ke seluruh dunia, terutama dunia Islam. Seorang wartawan Barat, David E Kaplan, menulis artikel panjang yang berjudul “Heart, Mind and Dollars.” Ia mengutip mantan Menlu Amerika Condoleeza Rice yang menyatakan bahwa untuk memenangkan peperangan terhadap terorisme maka harus menang dalam perang pemikiran. Wartawan itu menulis setelah meneliti ratusan dokumen pemerintah Amerika. Diantara program yang diluncurkan Amerika dalam perang pemikiran ini adalah istilah Islam Moderat. Juga dilakukan training-training untuk para dai, perbaikan kurikulum dan sebagainya.

Amerika harusnya berkaca bahwa program liberalismenya ini menimbulkan masalah di dunia Islam bahkan di negerinya sendiri. Tumbuhnya komunitas gay, lesbian, merebaknya pornografi, kerakusan harta, minuman keras, narkoba dll di masyarakatnya sendiri, harusnya menjadi cermin bagi Amerika bahwa freedom yang menjadi landasan hidupnya itu menimbulkan problem.

Kebebasan minuman menimbulkan problem minuman keras, kebebasan fesyen atau film menumbuhkan jaringan pelacuran, kebebasan pergaulan/seks menyebabkan merebaknya LGBT, kebebasan militer menyebabkan jutaan orang meninggal di Irak dan lain-lain.

Manusia di dunia ini lebih butuh keteraturan daripada kebebasan. Lebih butuh kebahagiaan daripada kebebasan. Kebebasan diperlukan, dalam batas-batas yang tidak menyalahi nilai-nilai agama. Maka tokoh Islam Mohammad Natsir lebih suka memakai kata kemerdekaan akal manusia daripada kebebasan akal manusia.

Ulama besar Buya Hamka menyatakan manusia di dunia ini dari Nabi Adam, bangsa Yunani sampai sekarang yang dicari adalah kebahagiaan (bukan kebebasan). Dan kebahagiaan itu telah didefinisikan para filosof dengan bermacam-macam definisi. Bahkan ada filosof yang menyatakan bahwa manusia tidak bisa mencapai kebahagiaan. Bila bahagia satu dicapai, ia ingin mencapai bahagia lainnya.

Karena itu, Al-Qur’an memberi kata putus soal kebahagiaan tertinggi. Yaitu apabila manusia menaati Allah dan RasulNya. Firman Allah, “Barangsiapa menaati Allah dan RasulNya ia akan mencapai kemenangan yang besar (bahagia di atas bahagia). (QS Al Ahzab 71). Wallahu azizun hakim. []

Nuim Hidayat, Penulis Buku Imperialisme Baru

Laman sebelumnya 1 2 3

Artikel Terkait

Back to top button