LAPORAN KHUSUS

Kata “Agama” Hilang dari Visi Pendidikan Indonesia 2035, Muhammadiyah: Alpa atau Sengaja?

Haedar tak menepis bahwa ‘kelalaian’ dalam penyusunan draf Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 memicu kecurigaan adanya keterkaitan antara keputusan kontroversial Kemendikbud terkait SKB 3 Menteri yang dirasa begitu sensitif terhadap urusan pakaian keagamaan.

Haedar menilai keputusan dalam SKB 3 Menteri memiliki problem yang sama dengan Peta Jalan Nasional 2020-2035, yaitu kontradiktif dan inkonsisten.

Alasannya, pasal 31 UUD 1945 ayat 1 dan 2 telah mengatur bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan negara wajib membiayai. Pada perkembangannya, negara mewujudkan pasal tersebut melalui sistem Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

“Nah poin ini yang kami kritik kemarin bahwa sanksi terhadap sekolah yang mewajibkan pakaian khusus keagamaan dicabut BOS-nya dalam SKB 3 Menteri itu bertentangan dengan ayat 2 Pasal 31 ini, kenapa dikait-kaitkan dengan pakaian khusus keagamaan misalnya,” kritik Haedar.

“Kita juga setuju, sekolah tidak boleh diskriminasi dan memaksakan sesuatu. Tetapi mestinya kan bisa pendekatan yang tidak otomatis dengan pendekatan SKB. Karena kalau SKB itu diberlakukan bisa merambat pada yang lain,” jelasnya.

Haedar khawatir pendekatan kekuasaan seperti SKB yang dilakukan tanpa mengindahkan kearifan lokal agama dan budaya tertentu, berpotensi merusak Kebhinekaan Indonesia.

Sementara itu jika hanya dilakukan sepihak dan inkonsisten hanya pada satu agama tertentu maka timbul bermacam kecurigaan. Haedar mengambil contoh dengan salah satu perayaan hari keagamaan yang memaksa dihentikannya semua kegiatan publik pada hari itu, termasuk bagi pemeluk agama berbeda.

“Nah kalau ada kasus seperti ini apa tidak keluar juga SKB 3 Menteri untuk melarang seluruh Pemda yang melakukan usaha diskriminasi? ini dampaknya luas. Saya termasuk menyarankan jangan ada larangan karena itu sudah melekat dengan agama dan budaya,” urainya.

Haedar mengungkapkan, Muhammadiyah sebagai bagian dari elemen bangsa Indonesia menghendaki kritik-kritik konstruktif terhadap Pemerintah. Haedar juga memuji keterbukaan Pemerintah untuk menerima kritik.

Kedepan, Haedar berharap Pemerintah tidak hanya mempertimbangkan aspek pragmatis terkait pasar dan ekonomi dalam perencanaan pendidikan, namun harus memperhatikan dimensi idealis, aspek ethics (moral) dan aspek fundamental sebagaimana tercantum dalam perangkat Undang-Undang di atasnya.

“Harus ada konsep-konsep tandingan, harus ada narasi alternatif, ada pikiran tandingan yang lengkap dan itu konstruktif menurut saya. Nah kita uji nanti kalau ada konsep yang lengkap tapi (hasilnya) tetap berarti ada sesuatu yang keliru,” jelasnya.

“Karena itu kekuatan-kekuatan moderat yang masih otentik harus bersuara, tapi suaranya jangan terus gaduh dalam percikan-percikan dengan pernyataan-pernyataan yang bersifat politik,” imbaunya.

sumber: muhammadiyah.or.id

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button