NUIM HIDAYAT

Mengapa Tokoh-Tokoh Islam Masyumi Terima Demokrasi?

Hari ini, 7 November adalah hari Ulang Tahun Partai Masyumi. 76 tahun lalu, tepatnya 7-8 November 1945 di Gedung Muhammadiyah Yogyakarta berlangsung Kongres Umat Islam se-Indonesia.

Hadir waktu itu tokoh-tokoh besar Islam dari Muhammadiyah, NU, Persis, dan lain-lain. KH Hasyim Asy’ari, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Prawoto Mangkusasmito, Soekiman Wiryosanjoyo, Mohammad Natsir dan lain-lain. 

Kongres itu ringkasnya kemudian menyepakati dibentuknya Partai Islam Masyumi untuk perjuangan Islam di Indonesia. Masyumi bersepakat untuk berjuang lewat parlemen. Masyumi ingin kehidupan Islam baik, diri pribadi, keluarga, masyarakat maupun negara. Masyumi menyadari adanya pertarungan di dunia antara kapitalisme dan sosialisme/komunisme. Tapi Masyumi yakin bahwa Islam yang akan memenangkan pertarungan ini. Karena nilai-nilai Islam yang jernih, kokoh dan sesuai dengan fitrah manusia. (Lihat Tafsir Asas Partai Masyumi).

Maknanya Masyumi ingin perjuangan secara konstitusional dan secara demokratis. Masyumi paham sila keempat adalah musyawarah dan sebagai penerapan dari musyawarah itu (dari semua komponen bangsa) adalah sistem demokrasi.

Tapi demokrasi yang diinginkan Masyumi adalah demokrasi berketuhanan. Bukan demokrasi liberal atau demokrasi terpimpin ala Soekarno. Maka jangan heran, meski dalam perjalanannya Masyumi pernah damai dengan Soekarno, tapi perjalanan panjangnya lebih banyak berkelahi. Perkelahian puncaknya adalah ketika Soekarno membentuk Nasakom, membubarkan DPR hasil pemilu, dan merangkul erat PKI. Ujungnya Soekarno membubarkan Masyumi.

Dalam demokrasi, kecerdasan pikiran diperlukan. Lobi-lobi politik dan ekonomi dipentingkan. Benturan pemikiran dan benturan nilai akan terjadi. Dibutuhkan kepiawaian manajemen dan akhlak mulia.

Dalam demokrasi ada transparansi. Mereka, para tokoh, yang berakhlak buruk akan dikecam habis dan masyarakat akan mencibirnya. Adu gagasan tiap hari muncul.

Demokrasi bermasalah, ketika terjadi kecurangan. Kejujuran yang merupakan ‘nilai tertinggi’ dihilangkan. Suara rakyat direkayasa dan penyelenggara pemilu tidak tahan godaan uang.

Memang demokrasi bukan sistem ideal. Yang ideal adalah sistem musyawarah. Untuk memilih pemimpin, dari presiden sampai lurah, paling baik adalah musyawarah para tokoh. Orang awam yang tidak memahami masalah kepemimpinan, tidak diikutkan.

Pertanyaannya bagaimana memilih para tokoh itu? Seseorang dianggap tokoh oleh suatu golongan, sementara golongan lain tidak menganggapnya tokoh. Maka sebenarnya sistem demokrasi atau perwakilan adalah kumpulan para tokoh.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button