SYARIAH

Menghalalkan Zina itu Murtad

Pendapat ini aneh dan janggal. Hubungan teks dan konteks dibuat terbalik dan liar. Lazimnya teks, baik ayat al Quran atau Hadits Nabi saw itu membutuhkan konteks. Jika konteksnya tidak ada maka dalil tidak dapat dieksekusi.

Misalnya, kewajiban haji itu bagi orang yang mampu menempuh perjalanan ke Baitullah. (Al Imran: 97).

Jika faktanya seseorang tidak mampu ke Mekkah maka kewajiban itu gugur dengan sendirinya.

Di dalam syariah zakat juga ada ketentuan haul dan nishab. Seseorang wajib mengeluarkan zakat apabila harta yang dimiliki sudah mencapai nishab dan haul. Jika faktanya harta seseorang tidak mencapai haul dan nishab maka kewajiban membayar zakat gugur.

Ajaran puasa juga demikian. Kewajiban puasa itu bagi orang yang mukim, sehat dan tidak berat menjalankan (yuthiiqunahu). Jika faktanya seseorang dalam keadaan safar, atau sakit atau berat menjalankannya, maka kewajiban puasa menjadi gugur. Berubah qadha atau membayar fidyah.

Kewajiban wudhu untuk shalat juga demikian. Seseorang wajib berwudhu bila akan menjalankan shalat. (Al Maidah: 6). Tetapi jika seseorang dalam keadaan tidak mendapati air maka baginya tidak kena kewajiban wudhu. Ia cukup bertayamum.

Begitulah lazimnya penyimpulan hukum syari’ah berjalan. Dalil didialogkan dengan fakta di lapangan. Jika fakta di lapangan tidak mendukung syarat diwajibkannya tuntutan dalil, maka hukum bisa berubah.

Yang dilakukan Syahrur berbeda. Dalilnya, seorang laki-laki boleh menggauli budak perempuan yang dimiliki. (Al Mukminun: 6).

Karena hari ini tidak ada lagi budak, maka seorang laki-laki boleh menggauli perempuan bukan budak tanpa menikah. Cukup dengan kesepakatan kedua belah pihak. Dengan demikian kumpul kebopun sah secara syariah.

Itu “ijtihadnya” Muhammad Syahrur yang diamini Abdul Aziz. Tanpa kritik yang berarti. Bahkan si penulis disertasi menyayangkan Syahrur yang hanya membuka pintu seks bebas hanya untuk laki-laki.

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button