SYARIAH

Mengkritisi Disertasi Zina Abdul Azis

Mengingat zina sangat berbahaya bagi masyarakat dan umat, maka Islam tidak hanya mengharamkannya, namun juga menganggap zina sebagai suatu jarimah (kriminal) dan jinayat (pidana) yang patut diberi sanksi yang tegas. Pelakunya dapat dikriminalkan atau dipidanakan karena telah melakukan pelanggaran terhadap nasab/keturunan yang merupakan salah satu dari adh-dharuuriyyat al-khams yang dijaga dan dilindungi oleh Islam.

Oleh karena itu, Islam mensyariatkan hukuman zina yaitu rajam (dilempari dengan batu sampai mati) bagi orang muhshan (yang menikah) dan cambuk 100 kali bagi orang ghair muhshan (yang belum menikah). Tujuannya, untuk menjaga keturunan dan nasab, memberi pelajaran bagi pelakunya agar tidak mengulanginya, mencegah orang lain dari zina, menjaga kehidupan rumah tangga, mencegah penyakit berbahaya dan menular, menjaga masyarakat dari bahaya zina, dan sebagainya. Inilah maqashid asy-syari’ah dalam hukuman zina tersebut.

Metodologi Bermasalah dan tidak Ilmiah

Secara metodologi, disertasi ini juga bermasalah. Disertasi ini menggunakan pendekatan Hermeneutika. Metodologi ini dipakai untuk menafsirkan Bible yang merupakan produk manusia yang disesuaikan dengan konteks tempat dan zaman. Metodologi ini sangat berbahaya jika digunakan untuk menafsirkan Alquran, karena bisa mengubah ajaran Islam yang qath’i dan tsabit (permanen) yang tidak memerlukan ijtihad atau penafsiran baru.

Dalam kajian Hermeneutika, Alquran tidak boleh dipahami secara tekstual, namun harus secara kontekstual. Maknanya, Alquran harus disesuaikan dengan konteks zaman dan tempat saat ini. Akibatnya, kebenaran Alquran menjadi relatif. Selain itu, ajaran Islam yang qath’i harus diubah dan ditafsir dengan makna lain, karena dianggap tidak sesuai dengan konteks zaman ini. Ini sama saja menuduh Alquran tidak cocok untuk diterapkan untuk setiap zaman dan tempat. Akibatnya, Alquran tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum atau petunjuk untuk setiap zaman dan tempat. Inilah bahaya Hermeneutika dalam memahami dan menafsirkan Alquran.

Metode Hermeneutika dibuat karena banyak informasi yang tidak lengkap tentang teks Bibel, mulai dari ketiadaan teks asli, ketidakjelasan sejarah penulisan, ketidakjelasan latar belakang sejarah teks (asbabun nuzul) dan seterusnya. Jadi, metode Hermeneutika merupakan ilmu untuk meraba-raba informasi yang masih belum jelas dalam Bibel. Maka cocok untuk digunakan untuk menafsirkan Bibel.

Dalam khazanah keislaman, hal itu tidak terjadi karena segala informasi yang diperlukan untuk memahami teks Alquran sudah sangat lengkap. Mulai dari bahasa yang mudah dipahami oleh bangsa Arab, kejelasan sanad dan biografi para perawi, kekayaan karya ilmiah para ulama dalam menafsirkan Alquran dan sebagainya. Jika ada orang-orang orientalis atau pengikut mereka yang menganggap ilmu-ilmu alat yang telah diletakkan para ulama masih belum cukup, itu disebabkan minimnya ilmu mereka. Siapapun yang mempelajari ilmu tafsir dengan benar dan lengkap pasti dengan mudah akan memahami Alquran.

Bila ada yang mengajak umat Islam utk memakai metode Hermeneutika untuk menafsirkan Alquran padahal umat Islam tidak mengalami kebingungan seperti yang dialami kaum Nasrani, ibaratnya seperti orang yang bisa melihat diajak untuk ikut seperti orang buta. Maka Hermeneutika tidak cocok dipakai untuk menafsirkan Alquran.

Selain pendekatan Hermeneutika yang bermasalah, disertasi ini juga tidak ilmiah. Abdul Aziz tidak merujuk kepada maraji’ (referensi) ilmiah dari para ulama. Padahal, ulama merupakan pewaris nabi dalam keilmuan dan pemahaman agama seperti disebutkan dalam hadits. Oleh karena itu, ulama merupakan pemegang otoritas dalam pemahaman agama. Maka, kita diperintahkan untuk mengikuti ulama sebagaimana perintah Alquran (lihat QS. An-Nisa’: 59) dan hadits-hadits shahih. Namun, abdul aziz tidak merujuk kepada ulama. Akibatnya timbul kerancuan dalam berpikir yang menyimpang dari koridor Islam. Dikira ilmiah, padahal disertasinya ini “sampah” yang patut dibuang pada tempatnya dan “virus” yang berbahaya bagi agama dan umat yang patut dibasmi. Dengan kata lain, ini paham sesat berkedok ilmiah.

Sebenarnya, dari sisi kepatutan sumber referensi dikaitkan dengan Syahrur yang tidak memiliki otoritas ilmiah, maka jangankan untuk disertasi, untuk skripsi saja harusnya sudah gugur, mengingat seharusnya UIN merupakan lembaga akademik. Jika yang dasar saja runtuh, maka runtuhlah semua produk akademik dari UIN, minimal UIN Sunan Kalijaga di periode ini. Jadi, tidak membahas wilayah pendapat pun, konsekuensinya seluruh produk pemikirannya pun batal. Tidak dapat diterima.

Merujuk kepada Selain Ulama Sesat dan Menyesatkan

Parahnya lagi, Abdul Azis merujuk pemahaman agamanya bukan kepada ulama. Dia merujuk kepada Muhammad Syahrur seorang professor dalam bidang tehnik asal Suriah yang belajar di negara komunis Rusia, namun aktif menulis tentang keislaman, meskipun ngawur dan menyimpang dari Islam. Jadi keahliannya di bidang tehnik, bukan agama. Dan dia tidak memiliki maraji’ para ulama.

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button