SUARA PEMBACA

Menolak Politik Identitas, Perlukah?

Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-22 yang digelar di UIN Sunan Ampel Surabaya menghasilkan rumusan Surabaya Charter atau Piagam Surabaya. Ada enam rumusan Surabaya Charter, salah satunya menegaskan penolakan terhadap politik identitas. (Surabaya, Kemenag.co.id, Mei 2023)

Perhelatan muktamar AICIS yang dilakukan di UIN Sunan Ampel Surabaya yang menghasilkan piagam Surabaya menghasilkan beberapa rekomendasi bagi umat, yang paling menonjol adalah merekontekstualisasikan fiqih dan menolak politik identitas.

Namun di saat yang sama, para calon kandidat peserta pemilu dan partai calon peserta pemilu, mulai menampakan identitas keislamannya, semisal mulai memakai kerudung, sorban, mulai rajin melakukan kunjungan silaturahmi ke pesantren-pesantren dan para kiai. Tentu saja pemakaian atribut tersebut menunjukan jika identitas sangat penting ditunjukan, apalagi saat menjelang pemilu, pastilah dengan harapan mendapat dukungan dari kalangan masyarakat, yang nota bene sampai hari ini masih didominasi oleh suara mayoritas orang Islam.

Saat kunjungan silaturahmi ke pondok dan kiai, para calon kontestan pemilu tidak berani untuk menyembunyikan identitasnya sebagai muslim, sebab menyembunyikan identitas sebagai muslim apalagi menyatakan tidak pro terhadap kepentingan islam dan kaum muslimin sama dengan bunuh diri politik, ia pasti tidak akan mendulang suara.

Maka berkunjung dan sowan ke pesantren dan para kiai adalah salah satu bentuk politik identitas yang merupakan salah satu ritual yang seolah wajib dilakukan oleh para calon kontestan pemilu. Karenanya mereka akan membawa oleh-oleh, pesan dan juga janji manis sesuai permintaan kedua belah pihak. Walaupun kenyataannya seringkali janji tak ditepati.

Kunjungan tiba-tiba para calon kontestan pemilu pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu, dan hal demikian telah menjadi maklum dan lumrah adanya dalam sistem sekuler demokrasi kapitalisme saat ini.

Maka menolak politik identitas sama dengan mengingkari realitas yang ada. Bahwa pada tataran faktanya politik identitas adalah politik yang dibutuhkan dan dinantikan masyarakat, yang akhirnya juga dipakai sebagai ritual wajib para calon kontestan pemilu. Sebab keberpihakan masyarakat akan ditentukan berdasarkan identitas tersebut. Maka politik identitas menjadi sulit untuk ditolak dan dihilangkan, sebab penolakan tersebut tak sesuai dengan fitrah manusia dan tak masuk akal.

Akan tetapi jika maksud dari menolak politik identitas yang direkomendasikan AICIS sama dengan menolak politik Islam, maka hal demikian adalah penolakan yang seharusnya menimbulkan ketersinggungan umat Islam, sebab telah menuduh baik secara langsung maupun secara tidak langsung bahwa politik Islam adalah politik yang tidak baik bagi manusia, sehingga wajib ditolak.

Padahal dalam tataran fakta dan catatan sejarah, justru penerapan dan praktek politik Islam mampu menjadikan dunia merasakan bagaimana realitas hidup dalam keseimbangan dan kesederajatan yang sebenarnya, yaitu sama-sama sebagai makhluk Allah SWT, sama-sama sebagai pelaksana hukum syariat, sehingga keadilan, kebaikan dan keberkahan hidup dapat dinikmati bersama, baik oleh muslim maupun non muslim.

Maka menjadi jelas jika pihak yang menolak politik identitas adalah pihak yang tidak mengenal praktik politik Islam yang sebenarnya, sebab kaburnya pemahaman mereka terhadap realitas sejarah dunia, bahwa Islam saat diterapkan secara kaffah dalam sebuah institusi Islam mampu menerangi kehidupan manusia selama 1400 tahun lamanya. Atau mereka yang menolak politik identitas adalah pihak yang telah menjadi agen sekuleris demokrasi kapitalis yang berselisih dengan faham Islam dan menolak perjuangan penerapan syariat Islam kaffah.

Maka jika ia seorang muslim, ia harus segera bertaubat, sebab telah menjadi pihak yang justru menjadi penghalang tegaknya maqoshidu syariah bagi seluruh umat manusia.

Sedangkan maqoshid syariah menurut Imam Syathibi adalah bahwa Allah menurunkan syariat (aturan hukum) tiada lain adalah untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (jalbul mashalih wa dar’ul mafasid), tentu saja dalam timbangan syariat, dalam pandangan Allah SWT dan Rasul-Nya.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button