OPINI

Pasukan Tempur Mulai Melawan Jokowi

Sudah bisa diduga. Kebijakan Presiden Jokowi anti lockdown, mulai mendapat perlawanan.

Sebagai Panglima Perang melawan Corona, Jokowi harus menghadapi realitas pasukannya mengalami demoralisasi. Ogah bertempur!

Tenaga medis sebagai pasukan tempur di front terdepan, mengancam tidak akan bekerja bila alat pengaman diri (APD) tidak dilengkapi.

Di beberapa front pertempuran lainnya, sejumlah kepala daerah sebagai komandan pertempuran, mengabaikan larangan Jokowi tak melakukan lockdown.

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Jumat (27/3) menyampaikan protes keras kepada pemerintah. Mereka menilai pemeritah tidak cukup menyediakan APD yang memadai dan menjamin keselamatan tenaga medis.

“Bila hal ini tidak terpenuhi, maka kami meminta kepada anggota profesi kami, untuk sementara tidak ikut melakukan perawatan penanganan pasien COVID-19 demi melindungi dan menjaga keselamatan sejawat,” tegas Ketua IDI Daeng M Faqih.

IDI tidak sendiri. Sikap tersebut disepakati bersama beberapa organisasi profesi lainnya. Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia, dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) juga akan melakukan langkah serupa.

IDI sesungguhnya sudah menyampaikan pentingnya pemerintahan melakukan lockdown, untuk mencegah membludaknya pasien virus Corona.

Mereka tahu persis, bahkan sampai hitungan detilnya. Jika terjadi ledakan jumlah penderita, fasilitas rumah sakit tidak akan mampu menampung. Sementara jumlah tenaga medis yang ada, juga tidak akan mampu menanganinya.

Korban akan berjatuhan. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Lebih mengenaskan lagi banyak tenaga medis yang ikut menjadi korban. Puluhan orang sudah tertular dan sejumlah dokter dan perawat meninggal dunia.

Semua itu disebabkan keterbatasan APD. Sangat ironis pasukan tempur terdepan, aset utama pemerintah menghadapi perang melawan Corona, dibiarkan tewas tidak terlindungi.

Jelas ini menyebabkan terjadinya demoralisasi. Pasukan melawan. Daripada mati konyol!

Hanya karena pengabdian yang tinggi, sikap profesional, dan terikat sumpah untuk menyelamatkan kemanusiaan, mereka tetap berjibaku. Termasuk mengorbankan nyawanya.

Para tenaga medis tampaknya sudah sampai pada puncak kekesalannya. Enough is enough. Sudah cukup. Tidak bisa ditoleransi lagi.

Sebelumnya para tenaga medis masih mencoba tidak bersikap frontal. Melakukan persuasi, memberi signal-signal. Mulai dari pesan tersirat maupun tersurat. Namun pemerintah pusat bergeming.

Saking kesalnya Ketua Satgas Covid-19 PB IDI Prof Zubairi Djoerban sampai berkata, “Kalau tidak mau lockdown, setidaknya jangan bikin kebijakan ngawur lah,” ujar dokter senior spesialis penyakit dalam itu.

Selain para tenaga medis, meledaknya penderita virus Corona membuat sejumlah kepala daerah menambil langkah berani. Mereka melakukan lockdown, menutup daerahnya. Tak peduli dengan larangan pemerintah pusat. Mereka lebih paham kegawat-daruratan daerah masing-masing.

Pemprov Papua memutuskan menutup akses pergerakan manusia ke wilayahnya. Mereka menyisakan pintu hanya terbuka untuk barang kebutuhan logistik, terutama sembako, dan alat kesehatan.

Mereka tak pedulikan keberatan Mendagri Tito Karnavian. Mereka lebih tahu kondisi daerahnya.

Fasilitas dan tenaga medis di provinsi itu sangat terbatas. Jika terjadi ledakan penderita, Papua akan menjadi “ladang pembantaian”. Mereka pasti tak mampu menanganinya.

Mereka tampaknya juga sadar, tidak mungkin minta bantuan pemerintah pusat atau daerah lain. Semua sedang menghadapi masalah yang sama.

Walikota Tegal Dedy Yon Supriyono juga mengambil langkah berani. Dia menutup akses ke kota Bahari itu karena ada warganya yang sudah positif Corona.

Politisi Partai Demokrat itu mengaku, dia siap menanggung konsekuensi dari keputusannya.

“Ini adalah pilihan yang sangat pahit. Saya pribadi juga dilematis. Kalau boleh memilih, saya lebih baik dibenci masyarakat,” kata Dedy Yon saat mengumumkan kebijakannya Rabu (25/3).

Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor pada tanggal 17 Maret sudah memutuskan melakukan lockdown. Namun keputusan itu diralat setelah diperingatkan.

“Keputusan lockdown ada di tangan pemerintah pusat,” ujarnya menirukan pernyataan Jokowi.

Soal wanti-wanti kewenangan pusat inilah yang menyebabkan Mendagri Tito Karnavian (17/3) sampai harus mendatangi Gubernur DKI Anies Baswedan.

DKI walau tidak menggunakan istilah lockdown, sudah melangkah jauh melebihi pemerintah pusat. Anies meliburkan sekolah, mengimbau penutupan tempat ibadah, perkantoran, dan mengurangi operasional kendaraan MRT dan Trans Jakarta.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button