Pembunuhan KM-50: Masih Adakah Harapan Pada Komnas HAM?
Beberapa hari lagi genap sebulan pembunuhan enam anggota Front dalam insiden KM-50 jalan tol Jakarta-Cikampek. Pembunuhan ini sedang diselidiki oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnash HAM). Kepolisian mengatakan aparat mereka menembak mati keenam warga negara Indonesia itu.
Ada pertanyaan kunci: beranikah Komnas mengungkap pembunuhan ini secara transparan? Beranikan mereka membuat kesimpulan bahwa pembunuhan itu adalah peanggaran HAM berat?
Pada mulanya, Komnas HAM terkesan tidak takut membongkar pembunuhan ini apa adanya. Publik pun bersemangat. Keadilan akan tegak. Dan memang meyakinkan sekali manuver-manuver mereka. Komisioner Chairul Anam menjadi salah satu bintang Komnas. Dia menunjukkan isyarat bahwa Komnas akan mengurai tuntas pembunuhan KM-50.
Komnas mengatakan mereka sudah mengumpulkan banyak bukti. Termasuk sejumlah proyektil dan selongsong peluru. Plus, banyak rekaman CCTV dari Jasa Marga. Rekaman itu tentunya terkait dengan kronologi pembunuhan. Komnas juga mengatakan sudah memawancari banyak orang. Ada puluhan polisi dan warga sipil yang diperiksa Komisi.
Initinya, Komnas HAM mempresentasikan di depan publik bahwa mereka akan mengungkap semuanya. Tidak akan ada yang ditutup-tutupi. Mungkinkah itu terjadi? Inilah yang perlu kita cermati.
Suara-suara di masyarakat yang tadinya optimis, sekarang mulai pesimis. Pesimis Komnas akan bertindak adil. Begitulah yang banyak disampaikan lewat media sosial. Publik tidak lagi berharap terlalu banyak pada Komnas untuk menuntaskan penyelidikan secara transparan kasus pembunuhan 6 anggota Front.
Apakah ada gelagat atau pertanda Komnas “tak sanggup” menuntaskan penyelidikan KM-50? Bisa saja itu terjadi.
Gelagat pertama, ada semacam hambatan psikologis yang dialami oleh para komisioner Komnas. Hambatan psikologis itu kelihatannya bersumber dari ‘inferiority complex’ (perasaan lebih rendah) yang terkait dengan kekuasaan dan kekuatan institusional.