Politik Cakar Ayam
Dunia politik Indonesia menjadi jungkir balik. Bagai taman roller coaster. Kawan menjadi lawan. Musuh menjadi teman. Tak ada lagi mata angin politik konvensional. Yang di utara pindah ke selatan. Yang biasa di timur bergeser ke tenggara. Yang biasa dominan menjadi ‘letoi’. Yang selama ini di dalam, sekarang diusir keluar.
Persis seperti hasil cakaran ayam. Berserakan ke mana-mana. Tak lagi konvensional. Tidak mudah dipahami dan tidak pula menggunakan cara berpolitik yang terhormat. Lebih kental kesan sesuka hati. Seperti ayam yang tak perduli bagaimana hasil cakarannya.
Yang biasa memegang semua urusan, tiba-tiba merasa dekat ke liang kubur. Yang merasa menjadi hulubalang Queen Maker sekarang terpental. Mengamuk. Tak terima dijauhkan dari pusat kekuasaan.
Parpol-parpol yang merasa bisa menentukan berapa kursi menteri untuk mereka, sekonyong-konyong merasa terkekang. Orang yang semula tidak punya kuasa besar, sekarang bakal menjadi king maker baru. Menjadi orang kuat baru. Bahkan berpeluang menjadi king-nya sendiri.
Itulah politik cakaran ayam. Prof Sedijatmo pastilah tak menyangka kalau solusi pondasi tanah lembek berupa cakar ayam akan dipakai dalam bentuk cakaran ayam ketika menghadapi pondasi politik lembek pasca-pilpres 2019.
Politik cakaran ayam Megawati-Jokowi sama tak lumrahnya dengan pondasi cakar ayam Prof Sedijatmo. Karena itu, banyak yang bisa segera menjadi doktor politik dengan objek penelitian di seputar “politik cakaran ayam” itu.
Perlu secepat mungkin dan sebanyak mungkin mahasiswa S-3 studi politik membuat tesis-tesis yang isinya mematahkan politik cakaran ayam. Supaya metode ini tidak dikembangbiakkan atau didaur-ulang oleh para politisi yang tak memiliki alas kemenangan pemilu yang kuat.
Politik Cakaran Ayam seperti yang sedang tayang hari ini harus dicegah. Karena satu-satunya produk yang dihasilkannya adalah kemunduran dunia poltik dan degradasi sistem demokrasi.
ASYARI USMAN
(Penulis adalah wartawan senior)
sumber: FB Asyari Usman