SUARA PEMBACA

UU Terorisme dan Hoax; Kepentingan yang Memaksa

Tidak terasa telah sampai di penghujung bulan Maret, artinya menuju 17 April tidak lama lagi. Situasi antara 2 kubu paslon semakin memanas. Paslon 01 yang mana petahana memggunakan berbagai macam cara dan jalan untuk mengampanyekan dirinya. Paslon 02 tidak begitu nampak riuh kampanyenya.

Rezim yang saat ini masih dipegang oleh petahana kembali diguncang kepanikan, bagaimana tidak kasus hoax kembali muncul ke permukaan. Seolah tak kehabisan cara untuk melawan oposisi rezim petahana menggunakan segala cara untuk memenangkan dirinya pada April mendatang.

Rakyat dibuat terkejut dengan pernyataan Wiranto, Menko Polhukam yang menganggap bahwa hoaks merupakan ancaman baru dalam Pemilu 2019. Menurutnya hoaks tersebut telah serupa dengan aksi teror, seperti yang terjadi terkait pemilihan presiden (pilpres) atau pemilu 2019. “Kalau masyarakat diancam dengan hoaks untuk tidak ke TPS (tempat pemungutan suara), itu sudah terorisme (Katadata.co.id, 21/3/2019). Wiranto ingin memberlakukan UU mewacanakan akan memberlakukan UU Anti terorisme untuk memberantas hoaks jelang pemilu 2019.

Seperti diketahui kebanyakan yang berada disamping petahana adalah partai yang mendukung atau berkoalisi dengannya sehingga tidaklah heran kawan tentu akan membela kawan. Lawan akan dapat menjadi kawan apabila ada suatu kepentingan. Lantas adakah rakyat menyadari ada kepanikan dari rezim petahana?

Rezim Panik, Berlindung di balik Undang-undang

Mungkin masih hangat dalam ingatan kita 2017 lalu pasca pengumuman dari pemerintah tentang pencabutan SK BHP HTI 19 Juli 2017 lalu, penguasa menerbitkan Perppu Ormas yang menjadikan ormas yang “berlainan” visi dengan demokrasi. Perpuu ini dianggap oleh penguasa sebagai kegentingan yang memaksa Kemudian Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018. Padahal menurut penafsiran MK bahwa ketika telah memenuhi 3 syarat yaitu; Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.

Kedua, Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum. Ketiga, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ternyata HTI dalam dakwahnya tidak pernah menggunakan kekerasan apalagi terkait dengan tindak hukum pidana. Maka jelas, keputusan pemerintah melalui Perppu ini mencederai demokrasi itu sendiri.

Jika kita melihat bahwa UU yang dibuat oleh penguasa tidak lain adalah untuk meredam keinginan rakyatnya yang sudah sedemikian jengah dengan rezim petahana. Seperti yang dikabar di portal berita news.detik.com,23/07/2019 pernyataan Andre Rosiade, anggota BPN. Bahwa rezim petahana saat ini ingin menakuti rakyat dengan UU tersebut.

Sekali lagi ini bukan berbicara siapa yang menang dan kalah dalam ajang Pilres 2019. Namun, mendudukkan persoalan pemilihan pemimpin adalah terkait hukum syariat yang mana juga mengatur terkait kepemimpinan. Mengapa rezim petahana begitu tegas pada pihak yang berlainan prinsip dengannya? Disisi lain dia juga gencar meneriakkan tentang perbedaan dan keberagaman. Sungguh ini menggelitik bukan?

Kepemimpinan Islam dalam Rangka Menegakkan Hukum Syara

Jika demokrasi memposisikan politik hanya semata-mata untuk duduk di kursi kekuasaan. Islam memiliki sudut pandang yang khas tentang ini. Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang berpegang pada Islam yang dibawa Rasulullah Saw untuk menyelesaikan berbagai persoalan, menjadi perisai untuk menjaga dan memelihara umat Islam dan non muslim yang menjadi rakyatnya dalam segala aspek kehidupannya, dan menyatukan umat Islam diseluruh dunia. Kepemimpinan yang dapat mewujudkan semua itu dinamai oleh Nabi Saw dengan istilah khilafah/imamah.

Pemimpin sering disebut imâm (pemimpin yang diikuti), râ’in (penggembala yang mengurusi, manajer), râis (kepala, yang mengarahkan), mas’ûl (penanggung jawab), dan hâkim (penguasa, yang menerapkan hukum). Karenanya, pemimpin dalam Islam adalah orang yang mampu untuk menjalankan fungsi-fungsi sebagai pemimpin. Pemimpin haruslah mumpuni dalam hal ketakwaan, keamanahan, kejujuran, dan keahlian. Orang-orang yang mengangkat pemimpin yang tidak tepat dianggap telah melanggar amanah dan berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum Mukmin. Dari Abu Dzar dia berkata, saya berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah anda menjadikanku sebagai pegawai pejabat)?” Abu Dzar berkata, “Kemudian beliau menepuk bahuku dengan tangan beliau seraya bersabda: “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan melaksanakan tugas dengan benar.” (HR. Muslim – no. 3404).

Hubungan antara rakyat dan penguasa didasarkan pada ketakwaan kepada Allah SWT dari kedua belah pihak. Penguasa diangkat untuk menerapkan hukum syariat kepada rakyat. Karenanya, rakyat wajib menaatinya sekaligus memberikan koreksi kepadanya. Dari sini tumbuhlah mekanisme saling koreksi dan pertanggungjawaban antara rakyat dan penguasa. Rakyat wajib menasehati penguasa apabila berpaling dari hukum syara dalam kebijakannya (muhasabah lil hukkam). Akan tetapi apabila berkaca dengan rezim saat ini malah ada pemimpin yang dikoreksi oleh rakyatnya malah marah dan ingin “melawan”. Apakah negeri ini bisa dinamakan demokrasi atau hukum rimba?.

Nurhayati, S.ST
Anggota Media Muslimah Kendari

Artikel Terkait

Back to top button