NASIONAL

Vonis Habib Rizieq Kontradiktif dengan Program Asimilasi di Tengah Pandemi COVID-19

Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) dr. Mahesa Pranadipa menilai kasus yang menjerat Habib Rizieq Syihab bersifat pelanggaran, bukan kejahatan. Hukuman yang ideal adalah dikenakan sanksi denda sesuai Undang-Undang Karantina Kesehatan.

Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan vonis empat tahun penjara kepada Habib Rizieq Syihab (HRS) karena bersalah menyebarkan berita bohong terkait hasil tes swab dalam kasus RS Ummi Bogor hingga (dianggap) mengakibatkan keonaran.

Dalam video yang diunggah YouTube RS Ummi, Habib Rizieq (dianggap) terbukti menyiarkan berita bohong dengan mengatakan dirinya sehat. Rizieq dianggap bersalah melanggar Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Lantas, apakah vonis empat tahun Habib Rizieq Syihab sepadan dengan pelanggaran yang dilakukannya? Berikut wawancara dengan Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), dr. Mahesa Pranadipa, MH., seperti dilansir Deutsch Welle (DW).

Apakah hukuman penjara sudah cukup ideal untuk kasus pelanggaran HRS?

Saya dari awal tidak begitu setuju dengan pidana penjara untuk yang sifatnya pelanggaran, bukan kejahatan. Kalau dari perspektif hukum restoratif, vonis tersebut menjadi kontradiktif dengan kebijakan pemerintah yang membebaskan narapidana yang sudah melewati setengah masa tahanan dan saat ini justru memasukkan orang-orang ke penjara.

Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah perspektif keadilan di mata publik. Kalau misalnya pelanggaran Habib Rizieq mendapat vonis penjara, maka ada beberapa kasus lainnya bisa masuk kategori yang sama.

Contohnya, kasus Airlangga Hartarto (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI) yang tidak memberikan informasi bahwa dia positif COVID-19, tetapi ada beberapa agenda beliau hadir di Istana Negara. Apakah juga akan dikenakan pasal yang sama dengan kasus Habib Rizieq? Itu juga mengundang polemik.

Bagaimana penerapan sanksi denda bisa memberikan efek jera yang lebih dibanding penjara?

Saya mendorong sekali penerapan sanksi denda, sesuai undang-undang wabah atau undang-undang karantina kesehatan. Saya menganjurkan penggunaan sanksi denda Rp100 juta seperti yang tercantum dalam undang-undang karantina. Denda inilah yang harus diterapkan karena menimbulkan efek jera.

Beberapa negara juga menerapkan sanksi yang sama dengan denda yang cukup tinggi dan itu terbukti efektif. Namun, yang menjadi catatan jika diterapkan di Indonesia adalah dituntut konsekuen dalam menegakkan undang-undang tersebut.

Kekhawatiran seperti apa yang muncul ketika seseorang yang melakukan pelanggaran dikenai vonis penjara?

Ketika sanksinya hukuman penjara, apakah bisa dipastikan tidak ada penularan klaster penjara? Apakah akan dilakukan pemeriksaan PCR secara rutin?

Ada permasalahan baru kalau memasukkan orang yang terbukti melakukan pelanggaran, tetapi dikenai hukuman penjara. Kalau semua yurisprudensi dipakai untuk pelanggaran, berapa banyak orang harus masuk penjara? Apakah daya tampung lapas kita siap menerima mereka?

Pelajaran apa yang bisa diambil dari kasus HRS?

Semua orang harus benar-benar serius memandang pandemi COVID-19. Tidak boleh ada unsur main-main, tidak boleh ada unsur politik, dan lain-lain. Kita harus serius. Kami menyoroti tokoh publik yang berpotensi berinteraksi dengan banyak orang, dia harus bisa menjadi contoh yang baik.

Red: Agusdin
Sumber: DW

Artikel Terkait

Back to top button