NASIONAL

Wakil Ketua MPR: Selayaknya MK Kembali Tolak Uji Materi Nikah Beda Agama

Jakarta (SI Online) – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengingatkan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghadirkan kenegarawanan dengan kembali menolak uji materi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah UU No. 16 Tahun 2019 terkait dengan pernikahan beda agama, dan tidak menjustifikasi pelanggaran terhadap prinsip toleransi dan pelanggaran hukum dengan mengabulkan pernikahan yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan konstitusi.

“Aturan UU Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan sudah sesuai dengan aturan konstitusi, prinsip HAM dan toleransi antarumat beragama. Jadi sudah selayaknya bila MK menolak uji materi tersebut. Apalagi MK telah menolak permohonan sejenis pada 2015. Dan sejak saat itu hingga hari ini, tidak hal baru yang mengubah ketentuan UU dan agama (Islam) yang merubah ketentuan larangan pernikahan laki-laki non muslim dengan perempuan muslimah” ujarnya melalui pernyataan tertulisnya kepada Suara Islam Online, Jumat (11/2/2022).

HNW, sapaan akrabnya, mengatakan, usai amandemen UUD NRI 1945 pada 2002 lalu, UUD NRI 1945 telah secara paripurna mengatur relasi antara hak asasi manusia (HAM) dan ajaran agama di masyarakat Indonesia yang religius. Selain dari ketentuan prinsip pada pasal 29 ayat 2, melaksanakan ajaran agama termasuk pernikahan yang sah, diakui sebagai HAM yang dilindungi (pasal 28 B ayat 1 dan pasal 28 E ayat 1).

Baca juga: MUI Tolak Judicial Review UU Perkawinan

“Tetapi pasal-pasal itu tidak berdiri sendiri, bahkan yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia di UUD NRI 1945 sekalipun, karena pasal-pasal soal HAM itu ditutup dengan pembatasan yang termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) yang menyatakan bahwa salah satu pertimbangan pelaksanaan HAM adalah UU dan nilai-nilai agama,” ujarnya.

Secara lengkap, Pasal 28J ayat (2) menyatakan ‘Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis’.

Oleh karena itu, tambah HNW, seseorang tidak bisa berdalih terhadap hak asasi manusia terkait dengan nikah beda agama, karena ide tersebut bertentangan dengan UU dan nilai-nilai agama – terutama Islam – yang hidup di masyarakat.

“Memaksakan pernikahan yang tidak sesuai dengan UU dan ajaran agama (dalam hal ini Islam) adalah juga bentuk intoleransi terhadap umat Islam yang mempunyai sikap sesuai ajaran agamanya, yang dibenarkan oleh UU seperti UU tentang Perkawinan. Maka di tengah menguatnya ajakan untuk toleransi, dan pentingnya taat konstitusi, penting agar MK tidak melegitimasi hal yang tidak sesuai dengan UUD NRI 1945 ini, apalagi yang bisa menjadi dalih pembenaean intoleransi,” tukasnya.

Apalagi berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disahkan melalui Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, Pasal 40 dan Pasal 44 KHI secara tegas melarang dilangsungkannya pernikahan beda agama.

“Ini seharusnya bisa juga menjadi pertimbangan hakim MK dalam memahami nilai-nilai agama, terutama Islam, sebagaimana disebut Pasal 28J ayat (2),” tegas Anggota Komisi VIII DPR RI yang membidangi urusan agama ini.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button