Watak Demokrasi, Ulama Dibungkam Penista Dibela?
Penistaan dan penodaan agama di rezim sekuler demokrasi, bak cendawan di musim penghujan. Bukan semakin berkurang, justru semakin tumbuh liar.
Gelombang aksi selevel Aksi Bela Islam 212 dan diikuti dengan aksi Reuni 212 setiap tahunnya, ternyata tidak membuat para penista agama ketakutan. Sebaliknya hari ini, mereka semakin pongah sebab negara yang seolah membiarkan, bahkan membela para penista agama.
Keledai tidak akan terperosok ke lubang yang sama hingga dua kali. Tapi tidak bagi Sukmawati Soekarnoputri, yang melakukan penistaan agama terhadap Islam hingga dua kali. Menolak lupa bagaimana Sukmawati menista azan dan kerudung lewat puisi berjudul “Ibu Indonesia” pada awal April 2018. Kini, dengan entengnya kembali menista bendera Tauhid, Alquran bahkan membandingkan Kanjeng Nabi Saw dengan manusia biasa. Sedihnya penistaan yang diucapkan oleh mulut Bu Suk di lakukan di tengah umat Islam memperingati kelahiran Kanjeng Nabi Saw.
Sukmawati tidak sendiri. Masih di minggu yang sama, publik diresahkan dengan beredarnya video seorang Youtuber, Atta Halilintar, yang diduga melecehkan salat. Linimasa pun dihebohkan dengan penemuan applikasi game online dengan nama Remi Indonesia melalui bendera pengembang Paragisoft. Dalam game online tersebut, muncul kata-kata kasar yang dialamatkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan Islam. (viva.co.id, 12/11/2019).
Dalam sepekan saja, tiga kasus penistaan agama terhadap ajaran Islam dan umatnya terjadi di negeri yang katanya menjunjung tinggi demokrasi. Baik dilakukan karena ketidaktahuan atau kesengajaan, maupun karena kebencian terhadap Islam. Tetapi fakta berbicara sistem sekuler demokrasi menjadi tempat yang nyaman bagi para penista. Negara tidak hanya gagal melindungi agama. Tetapi juga gagal menegakan hukum yang tegas dan berkeadilan, serta membuat jera para penista agama.
Sikap negara ini justru bertolak belakang ketika menghadapi para ulama yang hanif. Sebutlah Habib Rizieq Shihab yang hingga hari ini terus dilempari fitnah. Bahkan keterangan beliau terkait pencekalan kepulangan beliau dari Arab Saudi diframing sebagai hoaks. Para pejabat saling tuduh dan lempar keterangan yang menyudutkan Habib Rizieq Shihab. Padahal sejatinya mereka hendak membungkam beliau. Dampak ketakutan yang amat nyata rezim ini terhadap para ulama yang lurus.
Belum kelar kasus pencekalan Habib Rizieq Shihab. Umat Islam kembali dibuat geram dengan kehadiran Ustaz Abdul Somad di KPK yang dipermasalahkan oleh para petinggi KPK. Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkap, pimpinan sebenarnya menolak kehadiran yang bersangkutan. Ia mempermasalahkan adanya kontroversi mengenai UAS. Ia juga menuturkan pihaknya akan memeriksa karyawan yang mengundang Ustaz Abdul Somad. Keterangan Agus Raharjo tersebut disampaikan di Gedung MK, Jakarta, Rabu 20 November 2019. (liputan6.com, 21/11/2019). Sikap KPK ini seolah sejalan dengan kepentingan rezim menggoreng narasi radikalisme untuk membungkam suara kritis para tokoh dan ulama.
Maraknya kasus penistaan agama yang terus terjadi, baik berupa penghinaan, pelecehan dan penistaan terhadap Allah Swt., Rasulullah Saw dan ulama. Maupun terhadap ajaran islam berupa syariat, termasuk ibadah. Mendapat respon dari Partai Keadilan Sejahtera ( PKS) yang berkomitmen untuk merealisasikan empat janji politik selama masa kampanye Pemilu 2019. Di mana salah satunya yakni menginisiasi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Ulama, Tokoh Agama, dan Simbol Agama. RUU tersebut diharapkan mampu memperluas cakupan undang-undang yang telah ada atau menutup celah kekosongan hukum dalam konteks saat ini. Pertanyaannya, efektifkah RUU tersebut jika terealisasi untuk membungkam mulut busuk para penista agama?
Sejatinya watak rezim sekuler demokrasi adalah menihilkan peran agama dalam seluruh lini kehidupan, termasuk negara. Tidak heran bila rezim ini begitu alergi terhadap Islam dan umatnya. Islamofobia menjadi penyakit kronis rezim ini. Di satu sisi, standar ganda demokrasi telah membuat Islam dan umatnya selalu dirugikan dan menjadi pesakitan. Tidak heran bila rezim selalu berada di sisi para penista. Sedangkan di satu sisi begitu getol membungkam para ulama.
Sesungguhnya penistaan dan penodaan terhadap Islam tidak cukup dihentikan dengan adanya regulasi baru dan penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan. Tetapi juga membutuhkan perubahan sistemik. Di mana Islam yang berasal dari Allah Ta’ala dan risalah Kanjeng Nabi Saw ditempatkan sebagai sumber nilai dan aturan seluruh aspek kehidupan.
Ketika Islam ditempatkan sebagai standar seluruh perbuatan manusia, mulai dari level individu hingga negara. Niscaya seluruh warga negara wajib memahami dan mempraktikannya. Dan negara akan menjadi benteng dan garda terdepan dalam melindungi agama. Sehingga para pendengki dan penista tidak akan berani menjalankan aksinya. Sedangkan para ulama ditempatkan di kedudukan yang mulia.
Jelas hanya Islam yang diterapkan secara kafah yang mampu menghentikan aksi penistaan agama. Negara menjalankan fungsi dan perannya dalam melindungi rakyatnya. Termasuk dalam hal penistaan dan penodaan agama. Berharap kepada sistem sekuler demokrasi dalam menuntaskan kasus para penista, sesungguhnya hanyalah utopia belaka. Wallahu’alam bishshawwab.
Ummu Naflah
Muslimah Bela Islam, Mentor di AMK