Fadli Zon: People Power Bagian dari Praktik Demokrasi, Bukan Tindakan Makar
Jakarta (SI Online) – Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai bahwa belakangan ini muncul framing yang dibangun oleh Pemerintah beserta aparatusnya bahwa ajakan “people power” yang dimaksudkan untuk memprotes praktik kecurangan Pemilu 2019, yang sebenarnya dimaksudkan untuk mengawal suara, menjaga demokrasi dan kedaulatan rakyat, dianggap sebagai makar.
‘Semua orang yang menggunakan kata people power tiba-tiba saja bisa dikriminalisasi aparat kepolisian, dituduh makar, ditangkap, dan diperlakukan sebagai pesakitan. Menurut saya, tindakan sewenang-wenang semacam itu harus dihentikan, karena berbahaya bagi demokrasi,” kata Fadli melalui pernyataan tertulisnya yang diterima Suara Islam Online, Rabu (15/5/2019).
Menurut Fadli, people power adalah bagian dari ekspresi demokrasi, tak ada kaitannya dengan makar. Dalam Oxford Dictionary, people power dengan jelas disebut sebagai bentuk tekanan politik melalui aksi massa untuk memenangkan pendapat umum. Jadi, people power merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat yang di negara kita keberadaannya dijamin oleh konstitusi, khususnya Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945.
“Menghubungkan people power dengan makar saya kira adalah bentuk penyesatan, sekaligus bentuk pembungkaman terhadap masyarakat sipil. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), secara semantik makar berarti (1) akal busuk, tipu muslihat; (2) perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang dan sebagainya; atau (3) perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah. Dari tiga pengertian berdasarkan KBBI tersebut kita bisa membuat kesimpulan kalau makar pada dasarnya adalah sebuah tindakan yang dilakukan untuk menjatuhkan pemerintahan dengan cara membunuh atau menyerang,” jelas Fadli.
Sementara itu, lanjut dia, jika merujuk kepada KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Indonesia, kata “makar” sebenarnya merupakan serapan atas kata “anslaag” dari bahasa Belanda. Di sini ada catatan penting. Penyerapan “anslaag” sebagai “makar” itu pun sebenarnya bermasalah. Sebab, seharusnya konsep “anslaag” diterjemahkan sebagai “penggulingkan pemerintah dengan kekerasan”.
“Jadi, hanya upaya untuk menggulingkan pemerintah dengan kekerasan saja yang bisa dikenai pasal “anslaag”. Gerakan massa, sebesar apapun, jika tanpa kekerasan, dan tak dimaksudkan untuk menggulingkan kekuasaan, tak bisa dikenai pasal “anslaag”. Masalahnya adalah karena kata “anslaag” diserap sebagai “makar” dalam bahasa Indonesia, maka pengertian “anslaag” dalam sistem hukum kita akhirnya jadi rancu, alias multitafsir. Itu sebabnya pasal makar jadi mudah sekali dijadikan pasal karet oleh penguasa. Padahal, konsepsi hukum pidana tak boleh diartikan lentur, tidak boleh dua arti. Harus penafsiran tunggal,” tutur Fadli.
Politisi Gerindra itu menambahkan, di dalam KUHP sendiri ada berbagai jenis pasal makar. Beberapa di antaranya Pasal 104 KUHP tentang makar keselamatan Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 106 KUHP makar wilayah negara, Pasal 107 KUHP makar pemerintahan, Pasal 139a makar wilayah negara sahabat, Pasal 139b makar pemerintahan sahabat, Pasal 140 makar raja atau kepala negara sahabat.