Demokrasi: Dari Cukong, Oleh Cukong, Untuk Cukong!
Kredo demokrasi : Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat, tampaknya perlu segera di revisi.
Khusus untuk Indonesia, harus segera diubah. Tidak menggambarkan realitas sesungguhnya. Yang lebih tepat: Dari Cukong, Oleh Cukong, Untuk Cukong!
Kredo itu lebih sesuai, pas dengan realitas, fakta, dan data praktik rezim pemilu langsung yang kini tengah diterapkan di Indonesia.
Menko Polhukam Mahfud MD dalam Webinar dengan pusat studi Pusako FH Universitas Andalas, Padang (11/9) mengungkapkan 92 persen calon kepala daerah dibiayai cukong.
Akibatnya sudah bisa diduga. Ketika terpilih muncullah korupsi kebijakan. Sebuah modus korupsi yang jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan korupsi uang.
“Korupsi kebijakan itu lebih berbahaya dari korupsi uang. Kalau uang bisa dihitung, tapi kalau kebijakan dalam bentuk lisensi penguasaan hutan, lisensi-lisensi penguasaan tambang yang sesudah saya periksa itu tumpang-tindih,” kata Mahfud.
Dari sisi UU, pemberian lisensi itu legal. Karena seorang kepala daerah boleh memberi konsensi tambang kepada pengusaha dengan memperhitungkan prosentase luas wilayah.
Pada praktiknya, kata Mahfud, lisensi itu diberikan lebih luas dari yang seharusnya. Bahkan tak sedikit kepala daerah juga berinisiatif membuka izin baru bagi para cukong yang pernah membantu membiayai masa kampanye ketika Pilkada sebelumnya.
Entah mendapat data dari mana, sehingga Mahfud MD bisa menyebut angka pasti 92 persen? Tetapi apa yang disampaikan Mahfud dijamin sahih. Mungkin kalau ada yang meleset, hanya pada jumlah presentasenya.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pernah mengungkapkan data yang tak jauh berbeda.
Dari sebuah riset yang dilakukan oleh KPK, 82 calon kepala daerah dibiayai oleh cukong dan sponsor. Dari situlah korupsi berpangkal.
Para cukong ini tidak memberikan dana secara gratis. Seperti perjanjian dengan setan. Perjanjian orang yang mencari pesugihan, kekayaan di tempat-tempat keramat!
Untuk daerah yang memiliki potensi tambang, atau hutan mereka meminta imbal balik konsesi. Mulailah mereka menjarah habis tambang dan hutan.
Untuk daerah yang tidak memiliki potensi sumber daya alam (SDA) mereka mengincar berbagai kebijakan berupa kemudahan dan proteksi bisnis.
Sementara daerah yang tidak punya SDA, secara bisnis juga tidak potensial, para cukong ini mengincar proyek-proyek APBD. Ini level korupsi yang paling kere. Tapi tetap saja setimpal hasilnya.
Para cukong inilah yang akan membiayai semua keperluan kandidat.
Mulai dari membayar tiket ke parpol, membayar lembaga survei, media dan iklan media, buzzer, pembuatan atribut, pengerahan massa, membayar aparat negara, sampai money politics.
Dalam banyak kasus, para cukong ini membentuk konsorsium. Mereka menjadi investor politik. Sebuah bisnis dengan keuntungan berkali lipat!
Biasanya tahapanya dimulai dengan menyewa lembaga survei untuk mendeteksi siapa kandidat yang paling potensial.
Dengan berbekal peta kekuatan kandidat, para cukong mulai mendekati kandidat. Terciptalah kerjasama saling menguntungkan, berbuntut memainkan kebijakan. Menguras, menghancurkan SDA dan menggarong anggaran negara.
Berapa besar dana yang dikeluarkan untuk seorang kandidat kepala daerah?
Berdasarkan data dari Kemendagri untuk bupati paling sedikit Rp25 miliar. Itu untuk daerah miskin. Semakin besar wilayah dan jumlah penduduknya, semakin besar biayanya. Angkanya mencapai ratusan miliar.
“Untuk pemilihan gubernur bisa sampai triliunan,” kata Plt Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar (03/12/2019).