Perlakuan Atas Nyawa Diskriminatif, Bukti Rapuhnya Sistem Hukum Sekuler
Pada dasarnya manusia sejak lahir diberikan hak atas hidup, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Tidak boleh merampas hak hidup seseorang secara sewenang-wenang. Sama saja halnya tidak boleh melakukan pembunuhan terhadap seseorang. Jika itu terjadi, maka negara harus berupaya menegakkan keadilan dengan memberikan sanksi tegas tanpa diskriminasi.
Namun berbeda dengan kasus penembakan empat anggota FPI di dalam mobil Xenia milik polisi pada 7 Desember 2020. Terdakwa Brigadir Polisi Satu (Briptu) Fikri Ramadhan dan Inspektur Polisi Dua (Ipda) Mohammad Yusmin Ohorella dinyatakan bebas dari hukuman pidana berdasarkan putusan Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Padahal tindakan melawan hukum terdakwa adalah merampas nyawa orang lain. Meskipun beralasan membela diri, tetap saja perbuatan tersebut melampaui batas (Repjabar.republika.co.id, 18/03/2022).
Sebagaimana dengan tuntutan dakwaan primer yakni Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan secara sengaja juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, bahwa terdakwa dijerat hukum enam tahun penjara. Namun di sisi lain hakim menyatakan alasan keduanya tidak dapat dijatuhi pidana karena pembenaran dan pemaaf. Sementara itu jaksa penuntut umum diperintahkan untuk melepaskan terdakwa dan memulihkan hak-hak terdakwa (cnnindonesia.com, 18/03/2022).
Betapa banyak laporan tindak kejahatan dituntut ke Pengadilan yang tidak menemui keadilan. Ketidakadilan semakin terpampang di hadapan mata dengan berbagai masalah pembunuhan secara sistematis hingga tuduhan teroris, tetapi tak kunjung ada solusinya. Bukan karena mengalami jalan buntu, lebih pada ambiguitas proses hukum yang dijalankan. Sementara itu, penetapan kebijakan tidak sesuai dengan implikasi yang diterima korban.
Meskipun semua pelanggaran hukum dan sanksi sudah tercatat dalam undang-undang. Hanya sebatas tinta hitam di atas kertas putih yang tidak memberikan pengaruh apa-apa. Seolah undang-undang atas hak asasi manusia yang disuarakan bisa dinegoisasi dan manipulasi sesuai kepentingan. Wajar saja jika terjadi jurang kesenjangan yang memihak pada kalangan elite.
Padahal penegakan hukum atas pemenuhan hak asasi manusia seharusnya diberlakukan kepada siapapun, tanpa terkecuali. Terbukti bagaimana hukum sekuler tidak mampu memberikan solusi koheren bagi umat manusia. Keadilan yang diserukan tidak mengakui kebenaran dan kepalsuan secara objektif. Keadilan versi hukum sekuler dijadikan cara sebagai kebenaran relatif dari setiap kebijakan tertentu, berdasarkan musyawarah. Hukum sekuler selalu akan memihak yang kuat daripada yang lemah, karena itulah cara rancangan sistem.
Sejatinya keputusan pengadilan sering lebih tunduk terhadap pihak-pihak yang memberikan harga lebih tinggi. Tidak memperhatikan lagi rasa keadilan yang sesungguhnya terhadap masyarakat. Padahal hukum hakikatnya dibuat untuk melindungi warga dari tindak kezaliman dan kejahatan. Urusan keadilan terhadap perlindungan nyawa pun seolah menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan.
Model putusan pengadilan semacam ini jelas tidak efisien, menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya. Alur peradilan yang berbelit-belit dapat memutarbalikkan kebenaran, mematahkan berbagai argumentasi dan mencari celah hukum yang membuat para terdakwa bisa lolos dari jerat hukum. Proses yang lama membuat kepastian hukum tidak segera didapatkan pihak yang mengajukan tuntutan. Justru panjangnya jenjang pengadilan memberikan kesempatan para mafia peradilan mendapatkan keuntungan.
Lagi-lagi sistem kapitalis demokrasi memberikan peluang kemenangan amat kepada para pemilik modal. Dengan begitu, penyelesaian hukum seperti ini membuat para pelaku kejahatan tidak akan jera atau takut. Akibatnya, angka kriminalitas terus meningkat karena kegagalan negara dalam menjamin keadilan dan perlindungan setiap persoalan. Apalagi nyawa manusia yang begitu penting harus dijaga.
Islam sangat menjaga dan melindungi nyawa setiap manusia. Karena nyawa adalah anugerah yang diberikan Allah untuk dipelihara dengan baik. Maka Allah menetapkan pembunuhan satu nyawa tidak berdosa sama dengan menghilangkan nyawa seluruh umat manusia. Begitu pun Al-Qur’an menjelaskan, “Siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia.” (QS. Al-Maidah: 32).