Bencana Peraturan Presiden untuk Pasir Laut
Mendatangkan Bencana
Pada 15 Mei 2023 lalu, Presiden Jokowi mengesahkan Peraturan Pemerintah (atau PP) Nomor 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Di Laut. Menurut Pak Presiden, PP ini dibuat dalam rangka menyehatkan laut dengan cara mengambil sedimen yang berupa pasir laut, dan mengangkutnya keluar.
Yang menjadi masalah adalah Pasal 9 ayat 2(d) di dalam PP ini, memperbolehkan pasir laut tersebut dijual ke luar negeri. Padahal ekspor pasir laut telah dilarang di Indonesia sejak 20 tahun yang lalu, oleh Presiden Megawati, mempertimbangkan dampak lingkungan yang teramat bahaya.
Penambangan pasir laut mengubah kontur dasar laut yang kemudian akan mempengaruhi arus dan gelombang laut. Hal tersebut dapat mempercepat tenggelamnya pulau-pulau kecil yang sudah terdampak parah akibat aktivitas penambangan lainnya ataupun karena perubahan iklim. Menurut Manajer Kampanye Pesisir dan Laut di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), ada tren kenaikan air laut dari 0.8 hingga 1 meter.
Dari data yang dikumpulkan oleh Ketua Bidang Lingkungan Hidup & Reforma Agraria Partai Ummat, pulau Nipa di Kota Batam hampir tenggelam walau dapat diselamatkan oleh reklamasi. Selain itu di Kabupaten Karimun ada Pulau Kundur yang semakin tergerus karena penambangan pasir darat. Lahan bekas galian di sana tidak ditutup sehingga menjadi empang dan danau-danau kecil. Di pulau Moro terjadi sedimentasi pada pesisir pantai karena penambangan pasir darat. Kondisi yang parah juga terjadi pada Pulau Sebaik. Di sana terjadi sedimentasi pada mangrove akibat pembukaan lahan untuk sarana pelabuhan pendaratan pasir dan penurunan hasil tangkap perikanan. Kalau laut pasang, pulau sudah tenggelam. Sedangkan di Kabupaten Lingga ada Pulau Baruk yang terancam tenggelam akibat pengaruh dari aktivitas pertambangan batu besi. Selain itu laut di perairan Baruk juga tercemar lumpur bekas cucian batu besi.
Selain dampak lingkungan, penambangan pasir laut pada pulau-pulau kecil di wilayah terluar Indonesia bisa saja mengganggu kedaulatan negara kita, karena tergerusnya bibir pantai akibat ekspor pasir laut dapat kemudian menggeser batas negara.
Krisis Pangan & Langka Tangkapan
Penambangan pasir laut akan menyebabkan kerusakan ekosistem laut. Hal ini dapat memicu dua macam krisis, yang akan menimpa masyarakat di pesisiran khususnya. Mereka akan menjadi korban yang paling utama.
Pertama, krisis pangan dapat terjadi karena sulitnya mencari sumber gizi dan makanan dari laut di sekitar yang telah rusak karena penambangan pasir laut. Kedua, krisis tangkapan akan terjadi karena kelangkaan ikan dan komoditas laut lainnya. Mayoritas masyarakat pesisir adalah nelayan kecil tradisional yang menggantungkan hidupnya dari tangkapan di laut. Gabungan kedua krisis ini menyebabkan perut yang lapar dan ekonomi yang mati, dan akan dengan sangat mudah memicu konflik horizontal.
Pada 7 Maret 2020, sekelompok masyarakat di wilayah pesisir Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, Lampung, membakar kapal sebagai bentuk penolakan terhadap eksploitasi pasir laut. Pada April 2022, sekelompok nelayan dari Desa Suka Damai, Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis, Riau, berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo, agar mencabut izin perusahaan penambang pasir.
Untuk Dijawab Pak Presiden Joko Widodo
Berbagai pertanyaan harus dijawab dan dijelaskan oleh Presiden Joko Widodo kepada kita semua, yang sangat prihatin dengan pengesahan PP ini.