Aroma Kapitalisasi di Balik Naturalisasi Dokter Asing
Tidak dimungkiri bahwa dalam paradigma kapitalisme, sektor kesehatan tidak luput menjadi lahan empuk guna mendulang keuntungan. Hal ini pun dikuatkan dengan keberadaan Indonesia sebagai anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Semua anggota dalam WTO juga merupakan anggota dari General Agreement on Trade in Services (GATS). Tidak heran, sebagaimana tujuan GATS, Indonesia pun dituntut untuk menguatkan arus liberalisasi pada dua belas sektor jasa, salah satunya adalah kesehatan.
Aroma kapitalisasi di sektor kesehatan inilah yang mengakibatkan tata kelola dan pelayanan kesehatan menjadi lahan bisnis bagi pemerintah. Alih-alih murah dan berkualitas, sektor kesehatan menjadi lahan bisnis dan persaingan. Naturalisasi dokter asing pun menjadi cara menaikkan keuntungan. Di sisi lain, naturalisasi dokter asing ini akan mengancam keberadaan dokter lokal, serta menambah mahal biaya kesehatan.
Yang menjadi ironi, sudah dihadapkan dengan persoalan kekurangan dokter, menjadi rahasia umum pula bahwa pendidikan kedokteran merupakan pendidikan dengan proses pendidikan yang sulit, lama, dan mahal. Tidak heran jika hanya masyarakat kalangan atas saja yang mampu mengecapnya.
Kapitalisasi juga kental menyengat dari mahalnya pendidikan kedokteran. Biaya mahal ini menjadi titik jenuh yang menghambat dihasilkannya dokter dalam waktu singkat dan berkualitas. Alhasil, terpenuhinya ketersediaan dokter di tengah rakyat menjadi lambat.
Jika pemerintah justru membuat kebijakan mendatangkan dokter asing untuk memenuhi kebutuhan rakyat, lalu bagaimana nasib dokter lokal dan sistem pendidikan kedokteran dalam negeri?
Sungguh makin ironis. Di satu sisi, arus kapitalisasi pendidikan makin deras. Di sisi lain, keberadaan dokter asing makin melambungkan biaya kesehatan. Apalagi jika standar yang dipakai adalah untung-rugi, jaminan kualitas pelayanan dipertaruhkan, tergantung uang yang dikeluarkan. Jelas menambah beban kalangan ekonomi lemah.
Polemik naturalisasi dokter asing niscaya tidak akan terjadi andai mau mengambil solusi yang ditawarkan oleh Islam. Dalam kacamata Islam, keberadaan dokter asing sejatinya bukanlah masalah. Paradigma perekrutan dokter asing ini tentunya berbeda dengan paradigma kapitalisme.
Perlu dipahami bahwa dalam paradigma Islam, kesehatan merupakan sektor publik yang wajib dikelola oleh negara. Negara wajib menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan pendidikan medis semata-mata demi memenuhi hajat hidup rakyat. Alhasil, sebagai sektor yang menyangkut kepentingan umum, haram bagi negara untuk mengapitalisasi dan meliberalisasi kesehatan.
Menjadi tanggung jawab negaralah untuk menyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat. Oleh karena itu, wajib bagi negara menyediakan dokter, tenaga kesehatan, dan fasilitas kesehatan yang memadai. Negara juga berperan penting menyelenggarakan sistem pendidikan ilmu-ilmu kedokteran guna menjamin ketersediaan dokter dan tenaga kesehatan yang berdedikasi tinggi dan berkualitas di masa depan.
Terkait kebijakan mendatangkan dokter asing maka negara memegang kendali penuh untuk mengaturnya. Boleh mendatangkan dokter asing setelah negara melakukan upaya untuk memberdayakan SDM dokter di dalam negeri. Sehingga perekrutan dokter asing dapat diminimalkan bahkan ditiadakan. Untuk menjaga idealisme dan dedikasi para dokter maka negara wajib menjamin kesejahteraannya sehingga terwujud tanggung jawab negara di sektor kesehatan.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan ini jelas membutuhkan biaya yang tinggi. Namun, negara wajib membiayainya menggunakan baitulmal yang memiliki banyak sumber pendapatan dengan jumlah yang besar. Adapun sumber pendapatan baitulmal antara lain berasal dari pos kepemilikan umum seperti tambang, minyak bumi, gas, hutan, laut, dsb. Sementara dari pos harta kepemilikan negara berupa fai’ dan kharaj, yakni ganimah, khumus, jizyah, dan pajak. Pajak diberlakukan hanya saat kas baitulmal kosong dan dikenakan pada kaum Muslim yang kaya saja.
Inilah solusi yang ditawarkan Islam untuk mengakhiri polemik naturalisasi dokter asing dan mewujudkan penyelenggaraan sektor kesehatan yang berkualitas. Solusi ini tentunya tidak hanya dikecap oleh segelintir rakyat saja, tetapi oleh seluruh rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim, baik miskin maupun kaya. Jelas sangat berbeda dengan penyelenggaraan sektor kesehatan dalam naungan sistem kapitalisme yang membuat dokter dan pasien makin sulit. Wallahu’alam bishshawab. []
Jannatu Naflah, Praktisi Pendidikan