HNW: Setop Museum Holocoust di Minahasa karena Buka Jalan Normalisasi dengan Israel
Jakarta (SI Online) – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mendukung sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ormas Islam lainnya dan mengkritisi dibukanya Museum Holocaust dan pameran foto Holocaust di Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
“Kami mendukung sikap Ketua MUI Bidang Kerja Sama Luar Negeri dan Hubungan Internasional, Prof. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, yang menuntut ditutupnya pameran foto dan Museum Holocaust di Tondano, di mana museum semacam ini berpotensi menghadirkan keresahan dan kontraproduktif terhadap upaya pembelaan terhadap Palestina yang diperjuangkan oleh pemerintah dan rakyat Indonesia, juga berpotensi memicu kegaduhan tidak perlu di tengah khalayak publik Indonesia yang saat ini semestinya berkonsentrasi menghadapi gelombang varian Omicron,” kata Hidayat melalui pernyataan tertulisnya kepada Suara Islam Online, Senin (31/1/2022).
Hidayat yang juga menjadi anggota Komisi VIII DPR RI ini juga mempertanyakan motif di balik pembukaan pameran foto dan Museum Holocaust di Tondano.
“Kepentingan dari museum ini juga perlu dipertanyakan, jika alasannya mencegah antisemitisme, maka Indonesia yang tidak meratifikasi UU itu justru setiap hari dipertontonkan laku teror dan genosida dan sejenis holocaust oleh Israel terhadap Bangsa Palestina, sehingga bangsa Palestina tercerai berai ada yang di Tepi Barat, di Gaza atau di kawasan pendudukan Israel,” ujar Hidayat.
Sekitar separuh dari bangsa Palestina bahkan jadi diaspora di banyak negara dan di lintas benua. Belum lagi pelanggaran HAM terhadap warga Palestina di Jerusalem, Masjid al Aqsha dan isolasi berbilang tahun terhadap warga Palestina di Gaza. Juga pengabaian Israel terhadap banyak resolusi PBB maupun kesepakatan-kesepakatan lembaga Internasional. Perilaku intoleran Israel terhadap Palestina itulah yang justru selalu ditampilkan oleh Israel.
“Sebagai pihak yang mengaku menjadi korban dari Holocaust Nazi, mestinya Israel tidak mengulangi hal yang sejenis kepada Bangsa yang lain, dalam hal ini Palestina. Jadi museum holocaust itu kalaupun diperlukan, mestinya untuk Israel sendiri. Untuk bangkitkan kesadaran kolektif di Israel betapa jahatnya holocaust, agar tidak diulangi oleh Israel terhadap bangsa manapun juga. Sehingga dapat menghadirkan perdamaian dan menghentikan kejahatan holocaust,rasisme dan intoleran Israel terhadap Palestina,” ungkap Hidayat.
Maka jelas sekali, kata Hidayat, museum holocaust tidak diperlukan di Indonesia yang toleran, tidak rasis, tidak melakukan holocaust terhadap suku dan bangsa mana pun. Malah bangsa Indonesia pernah mengalami sejenis holocaust yang dilakukan oleh antek penjajah Belanda, Westerling dan kawan-kawan terhadap puluhan ribu warga sipil di Sulawesi Selatan tahun 1946-1947.
“Terlebih lagi sumber informasi mengenai sejarah Holocaust yang sudah sangat mudah diakses di era teknologi informasi ini, malah membuka banyak tabir tentang hakekat Holocaust dan berbagai peristiwa yang mendahuluinya. Karena ternyata ada juga dokumen penting; Haavara Agreement, yang pada tahun 1933 disepakati antara organisasi Zionis di Jerman dan Inggris dengan rezim Nazi untuk migrasi 60.000 Yahudi Jerman ke Palestina,” tutur pria yang akrab disapa HNW itu.
Maka dari itu, lanjut HNW, sangat patut dicurigai jika adanya maksud tersembunyi dari pendirian museum ini di Indonesia sebagai bagian dari manuver untuk memuluskan rencana normalisasi hubungan diplomatik antara Israel dengan Indonesia. Apalagi ternyata museum di Tondano itu bekerjasama dengan Museum Yad Vashem Israel, di mana direkturnya adalah tokoh besar pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat, kawasan Palestina.
“Manuver semacam itu tentu sangat intoleran terhadap sikap resmi Bangsa dan Negara Indonesia, dan bertolak belakang dengan nilai-nilai bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan serta menolak segala bentuk penjajahan, dan karenanya mendukung Palestina merdeka dan menolak penjajahan Israel,” tegas HNW.