SUARA PEMBACA

Kalau Takut Kepada Allah SWT Harusnya Taat Syariat

Pasca debat pilpres kedua kemarin, sebagian masyarakat telah dibuai oleh capres nomor 01 sekaligus presiden saat ini dengan pernyataanya: “Kita ingin negara ini semakin baik dan saya akan pergunakan seluruh tenaga yang saya miliki, kewenangan yang saya miliki. Tidak ada yang saya takuti untuk kepentingan nasional, rakyat, bangsa negara. Tidak ada yang saya takuti kecuali Allah SWT untuk Indonesia maju”. Sejatinya hal ini adalah sebuah pernyataan yang sangat manis dan elok untuk didengar.

Namun, apakah benar hal ini sesuai dengan fakta yang ada? Mari kita amati bersama di sini. Ketika Manusia dituntut takut kepada Allah SWT, sejatinya diperintahkan untuk taat kepada syariat Allah SWT saja. Karena rasa takut adalah implementasi dari “takwa” kepada Allah SWT. Arti takwa sendiri adalah upaya untuk menjalankan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan dari Allah SWT.

Dengan demikian, jika memang hanya takut kepada Allah SWT kenapa tetap membangun negeri ini dengan hutang riba dan lebih memihak kepada para investor asing daripada kepada rakyat? Padahal siapa saja yang memakan riba diibaratkan telah menantang azab Allah SWT. Dan Allah SWT telah mengancam dengan keras para pemakan riba dengan ancaman sebagai dosa yang sangat besar. Dan Bapak telah mengukir sejarah sebagai presiden yang telah “menambah” hutang ribawi terbanyak Indonesia sebagaimana Bank Indonesia (BI) telah merilis utang luar negeri Indonesia pada akhir triwulan IV-2018 mencapai US$ 376,8 miliar atau Rp 5.312,8 triliun. Sungguh angka yang fantastis sekaligus mengerikan jika kita mengingat besarnya dosa riba.

Jika memang hanya takut kepada Allah SWT, tidak seharusnya memberikan kebebasan kepada golongan yang melanggar syariat Islam dan membiarkan perzinaan dimana-mana. Sungguh negeri ini marak perzinaan, bahkan prostitusi atas dasar suka sama suka tidak dianggap sebagai kriminal. LGBT juga dilindungi atas nama hak asasi manusia, padahal LGBT telah nyata membuat kerusakan demi kerusakan di masyarakat. Gerakan ini juga mengancam keberlangsungan dari generasi, dan terbukti semakin meningkatkan prevalensi HIV/AIDS. Di dalam syariat Islam, Allah melaknat perilaku kaum nabi Luth a.s. Rasulullah SAW bersabda: “Allah telah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth.” (HR Ahmad). Allah SWT juga telah menetapkan hudud bagi perilaku ini. Tapi apakah mau pemimpin negeri ini melaksanakan hukum Allah SWT ini?

Jika memang seorang pemimpin yang hanya takut kepada Allah SWT harusnya tidak takut dengan ancaman dan intimidasi manusia “siapa pun” itu. Namun coba kita ambil salah satu contoh fakta bagaimana keputusan pak presiden nyatanya sangat mudah berubah karena intimidasi dari orang sekitar. Saat Bapak mengutus Yusril untuk membebaskan Ust. Abu Bakar Ba’asyir, beliau juga akhirnya membatalkan karena diintervensi kementrian di bawahnya. Ada juga analisa Karena takut dengan ancaman Australia. Jika beliau hanya takut kepada Allah SWT, tentulah dirinya tidak akan membatalkan rencana membebaskan Ust Abu Bakar Ba’asyir, seorang pengemban dakwah korban fitnah dan tuduhan narasi perang melawan terorisme. Bahkan, beliau menjilat ludah dengan menyatakan pembebasan harus memenuhi persyaratan dan prosedur. Padahal, sebelumnya pembebasan disebut tanpa syarat, murni hanya karena faktor kemanusiaan.

Seorang pemimpin yang takut hanya kepada Allah SWT, maka akan sangat senang hati ketika mendapatkan kritik dan nasihat dari rakyatnya. Karena nasihat dari rakyat adalah dalam rangka untuk kemaslahatan umat dan negeri ini. Namun nyatanya selama pemerintahan beliau, banyak aktifis yang ditangkap karena telah mengkritik penguasa. Bukannya meng-evaluasi, tapi justru menyerang fihak yang berseberangan dengan beliau. Bahkan rezim ini begitu bangga telah sukses membubarkan gerakan yang memperjuangkan syariat Allah SWT. Padahal dakwah untuk terikat kepada syariat Allah SWT adalah bentuk ketakwaan kita kepada Allah SWT atau hal ini adalah bentuk rasa takut kita kepada Allah SWT. Lalu, apakah ini menjadi indikasi bahwa yang dikatakan hanya takut kepada Allah SWT adalah suatu kebenaran?.

Sungguh, rasa takut kepada Allah bukanlah hanya sekedar ucapan, namun hal ini harusnya terimplikasi di dalam setiap perbuatan. Terlebih seorang pemimpin suatu negeri yang memiliki rasa takut, akan berupaya melaksanakan perintah Allah SWT untuk taat kepada syariat-Nya. Mereka akan sangat takut jika mendholimi rakyat-Nya. Sangat takut jika membuat rakyat sengsara dengan kebijakan yang telah ditetapkankannya. Bahkan mereka akan senantiasa tidak merasa aman karena takutnya dengan adzab Allah SWT.

Jangan sampai ungkapan rasa takut kepada Allah SWT hanya sebatas pemanis bibir saja untuk meraup suara dan melanggengkan kekuasaan. Sungguh ini adalah kemungkaran yang sangat besar. Janganlah merasa aman seolah sudah berbuat banyak amal, sudah banyak berbuat baik, bahkan merasa tidak punya beban, sehingga sampai merasa Allah tidak akan mungkin mengadzabnya. Sungguh justru ini adalah indikasi tidak ada rasa takut itu kepada Allah SWT. Allah berfirman tentang manusia yang demikian (yang artinya): “Apakah kalian merasa aman dari makar Allah? Tidaklah ada orang yang merasa aman dari makar Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al A’raf: 99).

Takut kepada Allah adalah sifat orang yang bertaqwa, dan hal ini juga merupakan bukti keimanan kepada Allah. Maka takut kepada Allah adalah salah satu bentuk ibadah yang semestinya diperhatikan oleh setiap mukmin. Sebagaimana Allah berfirman (yang artinya) : “..Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku.” (QS. Al Ma’idah: 44). Dan konsekuensi dari rasa takut kepada Allah SWT adalah taat kepada syari’at Allah SWT, bukan justru mengriminalisasi syariat Allah SWT. Wallahua’lam bish showab.

Ifa Mufida
(Pemerhati Masalah Sosial)

Artikel Terkait

Back to top button