RESONANSI

Kasus Edy Mulyadi Menunjukkan Besarnya Kekuasaan Oligarki Cukong

Akhirnya Edy Mulyadi (EM) ditahan. Dengan tuduhan ujaran kebencian. Dia dikatakan menghina orang Kalimantan.

Edy adalah seorang wartawan yang tak bisa tinggal diam melihat kesewenangan. Dia menentang pemindahan ibu kota negara (IKN) dari Jakarta ke Penajam Paser di Kalimantan Timur (Kaltim). Bagi Edy, pemindahan ini adalah langkah sewenang-wenang. Tanpa urgensi yang mengharuskan pindah.

Lebih dari itu, Edy menangkap sesuatu yang lebih besar lagi. Dia melihat ancaman terhadap kedaulatan negara di balik pemindahan IKN. Apa yang dia lihat, diakui pula oleh banyak orang termasuk para pemerhati geopolitik dan persaingan internasional.

Berawal dari ancaman inilah Edy kemudian berargumentasi bahwa pemindahan IKN ke Kaltim sarat dengan alasan yang tidak rasional. Antara lain dia berpendapat lokasi IKN baru itu terpencil dan sangat jauh. Sampai-sampai Edy menggunakan istilah yang dirasakan menyinggung orang Kalimantan.

Inilah yang diangkat sebagai pelanggaran pidana. Dia pun ditahan.

Tetapi, apakah sesederhana itu pemicu proses hukum terhadap Edy? Jelaslah tidak. Kekhilapan kecil ini dibesarkan dengan bantuan proyektor milik cukong. Kaki tangan cukong menyimpulkan bahwa Edy Mulyadi sangat “mengganggu” bagi agenda besar mereka.

Kalau kasus Edy diproses sesuai standar hukum, maka hari ini juga para buzzer upahan harus masuk penjara. Tak terhitung lagi berapa banyak pelecehan, fitnah, dan uajaran kebencian yang mereka lakukan. Tidak tanggung-tanggung. Mereka menghina agama, menghina dan merendahkan Nabi serta kitab suci, ulama, dlsb.

Begitu juga sejumlah petinggi. Termasuk Menteri Sosial Tri Risma yang melecehkan Papua dengan mengancam PNS untuk dipindahkan ke Papua. Tersirat makna bahwa Papua adalah tempat pembuangan. Tapi, Sang Menteri aman-aman saja.

Kemudian ada anggota DPR RI, Arteria Dahlan. Dia rasis. Merendahkan orang Sunda. Arteria jelas-jelas mengungkapkan kebenciannya terhadap bahasa Sunda. Ini terkait peristiwa seorang pejabat kejaksaan tinggi Jawa Barat yang menggunakan bahasa Sunda di dalam rapat.

Kalau hukum mau ditegakkan seperti terhadap Edy Mulyadi, maka kedua petinggi ini haruslah mengalami perlakuan yang sama. Tapi, tidak demikian halnya.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button