Kasus KM 50 Belum Selesai Pak!
Aksi Gerakan Nasional Pembela Rakyat (GNPR) di depan Mabes Polri Jl Trunojoyo Jakarta menuntut dua hal yaitu tangkap Fadil Imran dan usut tuntas kasus Km 50. Tuntutan untuk menangkap Fadil Imran karena sebagai Kapolda Metro Jaya saat itu ia diduga kuat terlibat dan bertanggung jawab atas pembantaian enam anggota laskar FPI. Kini Fadil Imran menjabat sebagai Kabaharkam Polri.
Adapun tuntutan kedua yaitu penuntasan pengusutan kasus Km 50 karena bahwa menurut GNPF dan umat Islam pada umumnya kasus Km 50 itu belum tuntas. Ada orang atau pihak lain yang layak menjadi tersangka akan tetapi hingga kini masih disembunyikan atau belum terungkap.
Ada pihak yang menyatakan bahwa mengingat dua terdakwa telah mendapatkan vonis inkracht maka kasus Km 50 harus dinyatakan sudah selesai. Aksi di depan Mabes Polri dianggap tidak menghormati Putusan Pengadilan. Pihak yang berpandangan demikian antara lain M Hassan yang menamakan dirinya aktivis Gerakan Umat Islam Kafah.
Pandangan tersebut tidak benar karena bagi ormas dan gerakan Islam yang tergabung dalam GNPR serta umat Islam pada umumnya proses peradilan terdahulu itu tidak akuntabel, obyektif dan jujur. Sebaliknya menjadi peradilan rekayasa, peradilan dagelan atau peradilan sesat (rechterlijke dwaling). Peradilan yang mencoreng dan memalukan dunia hukum.
Dua petugas kepolisian yang diproses hukum yaitu Fikri Ramdani dan Yusmin Ohorella adalah terdakwa yang sejak awal “dimanjakan”, berstatus sebagai “peran pengganti” dan akhirnya “dilepaskan”. Pembunuhan dan pembantaian yang diskenariokan agar berujung “happy ending”.
Proses peradilan belum selesai. Kapolri sendiri Jenderal Listyo Sigit membuka pintu periksa ulang jika ada novum dan novum itu ternyata ada bahkan lebih dari dua. Belum selesainya proses hukum ini juga menyangkut rekomendasi Komnas HAM yang belum dijalankan oleh penyidik. Masih terhutang atau menggantung.
Tanpa menunggu novum, penyidik dapat dan harus menuntaskan tugasnya untuk menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM yaitu:
Pertama, menyelidiki kepemilikan dua pistol atau senjata api yang ditunjukkan oleh Kapolda Metro Jaya Fadil Imran saat konperensi pers 7 Desember 2020. Realisasi amanat Komnas HAM ini akan menentukan terjadinya obstruction of justice atau tidak. Benarkah senjata itu milik enam anggota Laskar?
Kedua, rekomendasi penting Komnas HAM yang belum dikerjakan penyidik adalah menyelidiki penumpang dua mobil “misterius” Avanza hitam B 1739 PWQ dan Avanza silver B 1278 KJD. Ini sangat penting mengingat penumpang kedua mobil tersebut diduga “sangat terlibat”. Komnas HAM merekomendasi adanya penindakan hukum untuk mereka.
Mengingat sebagaimana diakui oleh pihak Kepolisian bahwa kedua mobil “misterius” tersebut bukan mobil Polisi, maka Kepolisian sesungguhnya tidak memiliki beban psikologis untuk melakukan penegakan hukum atas penumpang kedua mobil tersebut. Masyarakat menduga kuat sebenarnya Polisi mengetahui siapa penumpang kedua mobil penting itu.
Ketika Mahkamah Agung menolak Kasasi JPU untuk kasus Briptu Fikri Ramdhani dan Ipda Yusmin Ohorella, maka saat itu juga Komnas HAM telah meminta agar Polri menyelesaikan rekomendasi Komnas HAM. Komnas HAM memandang kasus Km 50 belum selesai.
Satu hal yang juga harus diusut segera adalah siapa yang menyiksa dan membunuh dua korban yang dibawa dalam mobil terpisah, siapa petugas yang mengawal serta dibawa kemana? Proses peradilan terdahulu hanya terfokus pada pembunuhan empat korban. “Komandan” yang mengatur pemisahan kendaraan pengangkut korban pun belum terungkap. Sang komandan itu adalah penumpang mobil Land Cruiser hitam yang juga terkesan “disembunyikan”.
Aksi 17 Mei di depan Mabes Polri kemarin sudah tepat jika di samping tuntutan untuk menangkap mantan Kapolda Metro Jaya Fadil Imran, juga agar kepolisian melakukan pengusutan tuntas atas peristiwa Km 50. Kasus Km 50 itu belum selesai. Belum selesai, pak! []
M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 18 Mei 2023