SUARA PEMBACA

Kasus Sangihe: Tambang di Atas Kutukan

Tak habis-habis berbagai problema melanda negeri tercinta ini. Persoalan lahan tambang yang senantiasa menuai kontra kini kembali terulang. Di Sangihe tepatnya. Pembukaan lahan tambang di Sangihe sebenarnya telah mendapatkan penolakan dari masyarakat di sana. Namun demikian, proyek ini tetap dilegalkan oleh pemerintah pusat, sekalipun pemerintah Kabupaten Sangihe sejak awal menolak keberadaan PT Tambang Mas Sangihe (Kompas.com, 31/5/2021). Apalah keputusan pemerintah daerah ketika pemerintah pusat telah mengeluarkan ketetapan.

PT Tambang Mas Sangihe (TMS) merupakan anak perusahaan dari Baru Gold Corp. Perusahaan asal Kanada yang sebelumnya bernama East Asia Minerals. Baru Gold memegang sebanyak 70% saham dengan tiga perusahaan Indonesia memegang saham gabungan sebesar 30% sisanya (Suara.com, 17/6/2021).

Kepala Pokja Informasi Mineral dan Batu Bara Kementrian ESDM, Sony Heru Prasetyo dalam CNN Indonesia (12/6/2021), menyatakan bahwa izin telah dikeluarkan oleh Gubernur Sulut dengan kontrak karya seluas 42 ribu hektar dan izin tambang seluas 65 hektar.

Tragisnya adalah bahwa PT TMS telah mematok harga tanah per meternya hanya sebesar Rp 5000 saja sebagaimana penuturan Rafia Paususeke, warga Kampung Lesabe dalam Tempo.co (15/6/2021). Bukankah ini harga yang tidak masuk akal? Terlebih, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kepulauan Sangihe telah masuk ke dalam daerah rawan bencana. Sungguh, tidakkah pemberian izin ini telah mempertimbangkan realitas yang demikian?

Lagi-lagi pemerintah dalam setiap kebijakannya menyisakan tanda tanya besar bagi publik, kepentingan siapa yang mereka bela dan perjuangkan, rakyat ataukah korporasi besar?

Bukan sekali ini penguasa berselingkuh dengan pengusaha. Ujungnya, rakyatlah yang senantiasa menjadi korbannya. Alih-alih hidup semakin sejahtera, yang ada justru semakin diperas habis daya hidupnnya, diusir dari pemukimannya, dirampas setiap rupiah dari kantong kecilnya. Sungguh, ketidakadilan tengah berlaku di tengah-tengah rakyat kita.

Sudah bukan rahasia lagi, sejak lama Indonesia tak pernah benar-benar berdaulat atas setiap kekayaan negeri ini. Berbagai sumber daya alam yang melimpah selalu saja menjadi kepemilikan swasta maupun asing. Alhasil sang tuan tanah mesti membeli kekayaan di tanahnya sendiri, dengan harga mahal, dan bahkan akan dikenai pajak pula.

Andai saja negeri kita berkuasa sepenuhnya atas seluruh sumber daya alam yang kita punya, agaknya sejahteralah 250 juta penduduknya. Semua kekayaan baik di darat maupun di laut, yang terpendam maupun yang timbul di permukaan, seluruhnya dikelola oleh negara semata-mata untuk kemaslahatan rakyat. Dikembalikan dalam bentuk berbagai pelayanan yang menjadi kebutuhan mendasar mereka seperti kebutuhan akan pendidikan, kesehatan, dan keamaan. Bukan untuk dikuasai dan dinikmati hasilnya bagi sebagian kecil orang saja. Alhasil semakin tingginya kesenjangan sosial merupakan dampak tak terelakkan dari kebebasan dalam kepemilikan sebagaimana hari ini.

SDA dan kekayaan yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak boleh sama sekali diserahkan pengelolaan dan kepemilikannya pada individu maupun segolongan orang saja, baik swasta maupun asing. Negara, dalam hal ini diwakilkan oleh penguasa, harus menyadari betul kewajiban dan tanggungjawabnya sebagai pengurus urusan rakyat. Bukan malah menjadikan keuntungan materi dan manfaat sebagai poros pemerintahannya sebagaimana cara pandang ideologi kapitalisme.

Jika yang demikian telah diwujudkan, maka tanpa diminta pun cinta dan doa rakyat akan senantiasa meliputi pemimpinnya. Bukan seperti hari ini, ketidakpercayaan rakyat kian menjamur, tidak heran jika kadangkala berbuah menjadi kutukan pada penguasanya. Sebab penguasa tidak pernah hadir dalam setiap penderitaan mereka, yang ada justru merekalah yang menjadi aktor utama dari setiap tetesan air mata rakyatnya.

Pengaturan pengelolaan SDA secara mandiri oleh negara dan berfokus pada kemaslahatan rakyat sebagaimana disebutkan di atas, tidak lain adalah bersumber dari pengaturan dalam sistem Islam, bukan yang lainnya. Sebagaimana hadits Nabi ﷺ yang diriwayatkan oleh Abu Daud: “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Hadanallahu waiyyakum.

Muntik A. Hidayah
Aktivis Mahasiswa dan Pegiat Komunitas Pena Langit

Artikel Terkait

Back to top button