OPINI

Konsolidasi Oligarki di Tengah Pandemi

Pandemi Covid-19 telah membuat kualitas demokrasi di Indonesia makin merosot. Alih-alih dijadikan momentum memperbesar keberpihakan pada masyarakat, ironisnya pandemi justru telah dijadikan momentum bagi konsolidasi oligarki di Indonesia. Pandemi telah dimanfaatkan oleh elite penguasa untuk mengkonsolidasi kekuasaan dan membela kepentingan mereka sendiri.

Dalam catatan saya, setidaknya ada empat argumen kenapa demokrasi terus mengalami mengalami kemunduran di era Jokowi, terutama dalam setahun terakhir, dan kenapa kekuasaan oligarki justru kian terkonsolidasi.

Pertama, dalam setahun terakhir, pemerintahan Jokowi telah memandulkan dua lembaga yang menjadi ikon demokrasi di Indonesia, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Allen Hicken, seorang profesor Kajian Asia Tenggara di Universitas Michigan, ada dua lembaga penting yang menjadi ikon demokrasi di Indonesia, dan keduanya, menurut Hicken, telah dikooptasi dan dimandulkan fungsinya di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kedua lembaga itu adalah KPK dan MK.

Kita tahu, menjelang Omnibus Law Cipta Kerja disahkan, pemerintah dan DPR sebelumnya telah mensahkan revisi UU KPK dan UU MK. Sesudah UU MK direvisi, keputusan MK tak lagi bersifat mengikat DPR dan Pemerintah.

Kedua, terjadi penurunan sejumlah indikator vital dalam Indeks Demokrasi Indonesia. Meskipun indeks demokrasi Indonesia secara agregat membaik, namun menurut BPS (Badan Pusat Statistik) ada beberapa variabel vital yang skornya justru turun, yaitu (1) kebebasan berbicara (turun dari 66,17 poin pada 2018 menjadi 64,29 poin pada 2019); (2) kebebasan berkumpul (turun dari 82,35 poin menjadi 78,03 poin); (3) peran partai politik (turun dari 82,10 poin menjadi 80,62 poin); dan (4) Pemilihan umum yang bebas dan adil (turun dari 95,48 poin menjadi 85,75 poin). Ini adalah variabel yang skornya paling anjlok.

Selain empat variabel yang turun tadi, ada beberapa variabel penting lain yang skornya masih tergolong buruk (di bawah 60), yaitu (1) ancaman kekerasan yang menghambat kebebasan berekspresi sebesar (57,35 poin); (2) persentase anggota dewan perempuan (58,63 poin); serta (3) demonstrasi kekerasan (30,37 poin). Dalam pengukuran Indeks Demokrasi, skor di bawah 60 dianggap sebagai indikator yang buruk bagi demokrasi.

Ketiga, kekuasaan makin terkonsentrasi di tangan Presiden dan eksekutif. Bayangkan, dengan bekal kekuasaan menerbitkan Perppu, Presiden kini bisa mengubah lebih dari lima undang-undang sekaligus, tanpa perlu lagi persetujuan DPR. Contohnya adalah Perppu Corona 2020, yang mengubah 8 undang-undang sekaligus, yaitu (1) UU MD3 yang mengatur kewenangan DPR, (2) UU Keuangan Negara, (3) UU Perpajakan, (4) UU Kepabeanan, (5) UU Penjaminan Simpanan, (6) UU Surat Utang Negara, (7) UU Bank Indonesia, dan (8) UU APBN 2020.

Selain itu, hanya dengan satu draf RUU, kini Presiden bisa mengubah 79 undang-undang sekaligus, seperti terjadi dengan Omnibus Law Cipta Kerja. Perppu Corona dan Omnibus Law Cipta Kerja bukan hanya telah memperbesar kekuasaan Presiden di bidang legislatif, tapi juga memperbesar kekuasaan Presiden di bidang yudikatif. Ini adalah cermin kemunduran demokrasi yang sangat kentara.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button