OPINI

Konsolidasi Oligarki di Tengah Pandemi

Meski ketika awal terpilih Presiden Joko Widodo dianggap figur yang dapat membawa semangat demokrasi, karena bukan berasal dari lingkungan elite, namun ia gagal mempraktikkan demokrasi di bawah kekuasaannya. Salah satu pilar penting dalam demokrasi adalah penegakan hukum. Tapi di bawah pemerintahannya, penegakan hukum justru terjerumus pada politisasi.

Politisasi proses penegakan hukum memang bukan praktik baru di Indonesia. Namun, di era Presiden Joko Widodo, upaya negara untuk menggunakan hukum sebagai instrumen politik menjadi lebih terbuka dan sistematis. Hukum lebih dijadikan sebagai alat politik ketimbang instrumen keadilan.

Hal ini tercermin dalam hasil survei yang dilakukan oleh Indikator belum lama ini, yang menunjukkan 36 persen responden menganggap Indonesia kurang demokratis. Sedangkan, mereka yang menganggap Indonesia lebih demokratis hanya 17,7 persen saja. Mayoritas responden, yaitu 69,6 persen, menyatakan “setuju atau sangat setuju” bahwa pada saat sekarang “warga makin takut menyatakan pendapat”. Bahkan, 73,8 persen responden “setuju atau sangat setuju” bahwa “sekarang ini warga makin sulit berdemonstrasi atau melakukan protes”. Selain itu, 64,9 persen responden juga “setuju atau sangat setuju” bahwa “sekarang ini aparat makin semena-mena menangkap warga yang berbeda pilihan politiknya dengan penguasa”. Pendapat publik itu memberikan gambaran tentang seberapa jauh kita telah mengalami kemunduran dalam praktik demokrasi belakangan ini.

Pembubaran organisasi massa FPI (Front Pembela Islam) tanggal 30 Desember 2020 kemarin, yang dilakukan hanya melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) enam menteri dan lembaga, makin menyempurnakan praktik buruk politisasi hukum di Indonesia. Tanpa proses hukum di pengadilan, pemerintah kembali melarang dan membubarkan lembaga kemasyarakatan. Apalagi dilakukan dengan prolog penembakan terhadap 6 anggota FPI dan penahanan Habib Rizieq Syihab yang tak jelas dasar hukumnya.

Pembubaran ormas ini adalah preseden buruk dalam praktik negara hukum. Sebab, hanya berbekal kekuasaan, tanpa proses hukum yang fair, pemerintah bisa seenaknya melarang dan membubarkan organisasi. Jangan lupa, hal yang menimpa FPI ini bisa menimpa organisasi manapun yang berbeda pandangan dengan pemerintah, tanpa kesempatan untuk mendebat dan membela diri di pengadilan. Ini jelas manifestasi otoritarianisme yang membunuh demokrasi dan mengabaikan konstitusi.

Jadi, kita menutup tahun 2020 ini benar-benar dengan keprihatinan mendalam. Wajah demokrasi dan hak asasi manusia benar-benar suram. Selain pandemi Covid-19 yang telah melahirkan krisis kesehatan, konsolidasi oligarki juga telah merusak secara dalam sendi-sendi kehidupan berdemokrasi kita.

Tantangan 2021 kelihatannya akan semakin berat. Potensi krisis kesehatan berpadu dengan krisis ekonomi dan sosial bisa menciptakan krisis politik dan kepemimpinan nasional. Mari kita berdoa untuk keselamatan bangsa.

Dr. Fadli Zon, M.Sc.
Jubir Rakyat, Anggota DPR RI

Laman sebelumnya 1 2 3

Artikel Terkait

Back to top button