RESONANSI

Konsolidasi Oligarki Harus Dilawan

Secara umum saya melihat periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo ini sebagai periode konsolidasi oligarki. Agenda-agenda serta kebijakan yang diusung khususnya di bidang ekonomi sebagian besar ditujukan melayani kepentingan oligarki, bukan melayani kepentingan rakyat. Situasi pandemi, alih-alih menghambat konsolidasi oligarki, saya lihat justru malah mengakselerasi konsolidasi tersebut.

Dalam catatan saya, ada sejumlah kebijakan besar di periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo ini yang bersifat mengkonsolidasi kekuasaan oligarki. Melalui kebijakan-kebijakan ini, eksekutif memperbesar kewenangannya untuk “melayani oligarki” sembari menggerogoti fungsi kewenangan parlemen.

Kebijakan yang melayani kepentingan oligarki itu, secara brutal dan mencolok, ada tiga.

Pertama, omnibus law Cipta Kerja. Ini adalah undang-undang yang brutal, karena telah memberi Presiden kekuasaan legislasi yang sangat besar, sehingga bisa mengubah 79 undang-undang sekaligus. Spektrum persoalan yang dijangkaunya juga sangat luas. Bayangkan, undang-undang ini terdiri dari 11 kluster, mengatur mulai dari soal perizinan usaha, koperasi, investasi, ketenagakerjaan, fiskal, tata ruang, agraria, lingkungan hidup, konstruksi dan perumahan, kawasan ekonomi, hingga soal barang dan jasa.

Meskipun judulnya adalah “Cipta Kerja”, namun isinya tak lain sekadar melayani kepentingan para pemilik modal dan oligarki yang menjadi kroni. Berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh undang-undang tersebut bukanlah menjadi milik para pekerja, atau pencari kerja, melainkan milik para oligark yang saat ini menguasai perekonomian kita.

Kedua, Perppu Corona. Perppu No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/Atau Stabilitas Keuangan, atau yang sering disebut sebagai Perppu Corona, telah memberi kekuasaan penganggaran yang sangat besar kepada Presiden dan memberi hak impunitas kepada para pejabat di sektor keuangan.

Sayangnya, di tengah-tengah pandemi, kekuasaan penganggaran serta pelonggaran defisit APBN yang lebih besar ini, bukannya digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat, porsi terbesar justru digunakan untuk oligarki.

Pada tahun 2020, misalnya, dari tambahan belanja dan pembiayaan APBN sebesar Rp405,1 triliun untuk penanganan dampak Covid-19, insentif perpajakan dan program pemulihan ekonomi nasional besarannya mencapai Rp220,1 triliun, atau sekitar 54,3 persen dari total tambahan belanja tadi. Kita hendak mengatasi darurat kesehatan, tapi belanja terbesar pemerintah justru dialokasikan untuk memberi insentif kepada para pengusaha. Pada saat yang sama, pemerintah malah memangkas anggaran kesehatan dari Rp212,5 triliun di tahun 2020 menjadi Rp169,7 triliun pada APBN 2021.

Hingga kini, polanya juga masih belum berubah. Tahun ini, misalnya, pemerintah lebih memilih untuk menggunakan Silpa (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) APBN 2020 untuk membiayai proyek kereta cepat daripada menolong sembilan juta peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang terancam kehilangan status sebagai penerima bantuan iuran (PBI) dari negara.

Jadi, rakyat yang sudah ditimpa kesulitan ekonomi, tak mendapat bantuan jaminan kesehatan, karena anggaran publik kita lebih suka digunakan pemerintah untuk melayani kepentingan oligarki.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button