OPINI

Obstruction of Justice Polsek Lembang

Peristiwa menggegerkan pembunuhan Letkol Purn H. Muhammad Mubin oleh pengusaha Henry Hernando berbuntut dugaan terjadinya penghalangan proses hukum atau obstruction of justice yang dilakukan di lingkungan Polsek Lembang. Tempat awal penangkapan dan pemeriksaan tersangka. Proses penyidikan kemudian diambil alih oleh Polda Jawa Barat.

Polsek Lembang baik penyidik maupun Kapolsek patut untuk diperiksa atas dugaan obstruction of justice. Beberapa indikasinya antara lain:

Pertama, police line yang lambat dipasang di TKP dengan simpang siur informasi antara satu hingga tiga hari setelah kejadian. Tanpa police line menyebabkan keluarga tersangka atau siapapun leluasa untuk menghilangkan atau memindahkan alat bukti, khususnya yang ada di dalam rumah/gudang.

Kedua, penangkapan tersangka dilakukan dengan “baik-baik” tanpa pemborgolan dan tidak dimasukan ke dalam mobil polisi. Bahkan “dijemput” dengan mobil sedan. Perlakuan yang istimewa ini tidak lazim dalam penanganan perkara pembunuhan keji.

Ketiga, Polsek Lembang melakukan pemeriksaan baik tersangka maupun saksi hanya menuangkan apa yang disampaikan oleh mereka yang faktanya rekayasa dan bohong. Tidak berdasarkan fakta yang terlihat pada CCTV yang semestinya telah dimiliki atau didapat oleh Polsek Lembang.

Keempat, sebagaimana yang dikemukan Humas Polda Jabar, apa yang dilaporkan oleh Polsek dan Polres ternyata tidak benar, baik peristiwa tersangka meludahi maupun adanya pukul memukul yang mendahului pembunuhan. Demikian juga dengan hanya terjadi lima tusukan terhadap korban padahal fakta yang terlihat di CCTV jelas dilakukan 18 tusukan.

Kelima, Polsek Lembang menyembunyikan keberadaan ayah pelaku bernama Sutikno yang faktanya ia berada di sebelah tersangka saat melakukan penusukan bertubi-tubi. Ada pembiaran, bahkan dukungan, atas apa yang dilakukan anaknya Henry Hernando. Keterlibatan Sutikno terbaca sejak di dalam rumah yang berkomunikasi sebelum peristiwa. Ada dugaan kuat Sutikno pengusaha keturunan ini dilindungi Polsek.

Keenam, penetapan pasal 351 ayat (3) oleh Polsek Lembang dinilai janggal dan ada upaya untuk meringankan perbuatan. Sedemikian jelas fakta bahwa yang dilakukan tersangka dengan 18 tusukan adalah pembunuhan (Pasal 338 KUHP) bahkan sejak penyiapan pisau lipat di lantai 2, mengelilingi mobil terlebih dahulu hingga mengejar mobil usai penusukan adalah bukti pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).

Ketujuh, Polsek Lembang dalam melakukan pemeriksaan atas tahap rencana di dalam rumah sangat tidak seksama bahkan bersandar pada kebohongan bahwa tersangka membawa pisau karena sedang masak. Fakta bukan pisau dapur yang digunakan untuk membunuh melainkan pisau lipat, luput dari BAP yang dibuat.

Kedelapan, menghilangkan fakta keberadaan anak kecil yang bernama Muhammad yang duduk di sebelah korban saat pembunuhan sadis dilakukan. Keberadaannya penting untuk memberi kualifikasi pemberatan pada perbuatan tersangka. Hukuman maksimal yang semestinya dikenakan adalah Mati.

Kesembilan, pengaburan identitas “China” dengan menonjolkan atribut “Muslim” dan “Sunda” adalah berbahaya. Polsek yang mencoba menutupi persoalan SARA dengan cara menampilkan SARA adalah perilaku penegakan hukum yang tidak profesional.

Kejanggalan, rekayasa, serta pemutarbalikkan fakta di atas menyebabkan Polsek Lembang diduga kuat telah melakukan obstruction of justice. Karenanya diharapkan pihak Polda Jabar menurunkan tim pemeriksa atas pola penanganan yang melanggar kode etik dan dapat merupakan perbuatan pidana tersebut.

Siapa dan bagaimana hal itu dapat terjadi publik harus mengetahui agar kasus pembunuhan berencana atas korban mantan Dandim Tarakan ini dapat terungkap dengan seterang-terangnya. Dan para pelaku kejahatan itu harus dihukum dengan seberat-beratnya.

M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 8 September 2022

Artikel Terkait

Back to top button