Profesor ‘Belegug’
Ketika Megawati mendapat gelar Profesor Honoris Causa publik meramaikan karena di samping meragukan kualifikasi juga dianggap meruntuhkan wibawa akademik Guru Besar. Kekuasaan dapat “membeli” gelar.
Bambang Soesetyo juga sibuk ajukan Professor “loncat jabatan” padahal ia baru Lektor. Ternyata S2-nya lebih dulu dari S1. Jangan-jangan besok anugerah diberikan kepada “Insinyur” Joko Widodo. Nah, Prof (HC) Dr (HC) Ir (HC) Joko Mulyono, MA. Master Abal-abal.
Kekuasaan dan kekayaan “membeli” gelar menjadi fenomena buruk negeri ini. Kasihan para dosen yang berdedikasi tapi tidak punya kekuasaan dan kekayaan begitu mudah untuk “disalip” oleh para politisi atau pengusaha. Dunia akademik diacak-acak oleh para kapitalis. Tapi maklum juga sih, Menteri Pendidikannya juga cuma pakar Ojek Online. Pokoknya kurikulum merdekalah. Semau gue aje, kata Nadiem.
Ada juga Professor yang memang jenjang akademiknya benar, tetapi lagi-lagi terjebak soal beli-belian kekuasaan dan kekayaan. Guru Besar belian seperti ini mengganti terma budak belian dulu. Guru Besar bermental budak (sklaven geist). Tikus berdasi dan ber-barcode harga atau berjas dasi tetapi dasinya terbuat dari tambang yang melilit leher.
Prof. Dr. H Jimly Asshiddiqie, SH MH adalah Guru Besar kontroversial, khususnya terkait Gibran bin Jokowi. Akibatnya muncul panggilan atau gelar-gelar nyinyiran atau sindiran. Sekurang-kurangnya ada tiga predikat nyinyir yang bisa membuat sedikit nyengir, yaitu:
Pertama, Professor “Ambigu”. Tidak konsisten dalam pendirian khususnya saat mengadili Hakim MK terkait Putusan 90/PUU-XXI/2023. MK-MK yang diketuai Jimly memecat Usman dari jabatan Ketua MK tapi tidak menjalankan UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 17, akibatnya Putusan MK-MK banci.
Kedua, Professor “Fufufafa”. Ini atas ucapannya bahwa kasus Fufufafa harus dilupakan, rendah demokrasi, kampungan, dan adu domba. Nampaknya “sense of morality” Jimly rendah sekali. Pada saat publik butuh transparansi, justru Jimly menutup. Sikap inkonsistensi ditampilkan kemudiannya ternyata yakin Fufufafa adalah milik Gibran.
Ketiga, Professor “Belegug”. Gambaran dari Guru Besar bidang hukum yang menyimpangkan hukum. Ungkapan jika Hakim PTUN mengabulkan gugatan pembatalan pelantikan Gibran maka Hakim dapat ditangkap, adalah pandangan “belegug” atau bodoh. Jimly merepresentasi kepentingan siapa sehingga harus melakukan intimidasi atau ancaman?
Ketika keluarga Jokowi terusik, Jimly pasang badan. Citra sebagai pakar hukum digunakan sebagai tameng. Tapi publik sudah cerdas dan faham akan posisi Jimly Ashdshiddiqie saat ini yang tidak “sidik” lagi dalam menjaga marwah kepakarannya. Nampaknya ia sudah kecemplung di kolam yang banyak kataknya.
Berulang-ulang membaca UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, ternyata tidak ada satu pasal atau ayat pun yang menyatakan bahwa Hakim dapat ditangkap jika konten Putusannya salah, termasuk Hakim MK. Dari mana ya Jimly dapat dalil hukum?
Jika sampai akhir hayatnya ia tidak melakukan koreksi atas pandangannya, maka Jimly Asshiddiqie memang Professor “belegug”.
Lengkap sudah predikat yang melekat Professor “Ambigu”, Professor “Fufufafa” dan Professor “Belegug”. Tidak terima? Yuk kita debat !
M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 11 Oktober 2024