OPINI

Qidam, Terorisme, dan Keadilan

Seorang pemuda menjadi korban tembak aparat polisi. Ia tewas setelah disangka menjadi salah satu kelompok teroris.

Qidam Alfarizky Mowance (20 tahun) menjadi korban kebrutalan narasi terorisme. Qidam Alfarizki Mowance meninggal dunia di Desa Tobe Kecamatan Poso Pesisir Utara Kabupaten Poso pada 9 April 2020. Berdasarkan keterangan Kabid Humas Polda Sulteng, Kombes Pol Didik Supranoto, Qidam meninggal karena melakukan perlawanan saat dilakukan pengejaran.

Lain aparat, lain pula keluarga. Pernyataan Polda Sulawesi Tengah justru bertolak belakang dengan keluarga Qidam. Menurut keterangan keluarga, secara fisik Qidam meninggal dalam kondisi tak wajar. Ada banyak luka di sekujur badannya. Mulai dari luka tusuk di leher, pembengkakan, hingga luka memar pada bagian belakang leher korban. Mereka meduga Qidam mengalami penganiayaan.

Dikutip dari radarsulteng.id, Sabtu (11/4/2020), Kabid Humas Polda Sulteng, Kombes Pol Didik Supranoto, mengatakan, bahwa polisi menerima informasi dari warga bahwa ada salah satu orang tidak dikenal yang bergabung dengan kelompok terorisme Poso yang masih dalam pengejaran turun ke rumah warga, sehingga di situlah terjadi kontak tembak. Kecaman pun datang dari Solidaritas Umat Islam Poso. Dalam surat pernyataannya, Solidaritas Umat Islam Poso mengecam tindakan brutal aparat kepolisian, meminta Polda Sulteng menarik kembali pernyataannya, menegaskan bahwa Qidam tidak terafiliasi dengan kelompok manapun yang dihubungkan dengan teroris, dan meminta hukum ditegakkan seadil-adilnya.

Kasus Qidam mengingatkan saya tentang kasus Siyono dan korban terduga teroris lainnya. Asas praduga tak bersalah seperti tak berlaku dalam tindak terorisme. Publik pun sudah kenyang dengan narasi seperti ini. Terorisme selalu menjadi tameng dalam pembenaran tindakan brutal oknum aparat. Padahal apa dan bagaimana terorisme itu sendiri selalu sumbang. Memiliki standar ganda sebagaimana radikalisme. Meski isu ini sebenarnya sudah tak laku di kalangan umat, namun masih saja ada sekelompok umat yang terjebak dengan narasi ini. Kalau bukan terorisme, ya radikalisme. Dan lagi-lagi cap teroris dan radikal hanya tersemat pada umat Islam.

Bagi mereka yang termakan narasi radikal dan teroris, sulit untuk berpikir obyektif. Subyektifitas itu selalu diarahkan pada umat Islam. Jika masih belum yakin bahwa narasi ini adalah bentuk propaganda untuk membusukkan Islam dan ajarannya, cobalah mengingat berapa korban terduga teroris yang tertembak mati dari kalangan umat Islam? Adakah diantara mereka beragama non Islam? Adakah sebutan terorisme itu untuk pelaku bukan muslim meski tindakannya terkategori teror? Nihil.

Kematian Qidam adalah contoh penegakan hukum yang tebang pilih. Keadilan menjadi barang langka. Andaikata memang Qidam seperti yang dituduhkan, layakkah aparat berlaku brutal? Mereka penegak hukum, tapi mengabaikan prinsip dari hukum itu sendiri. Sudah semestinya Polri menindaklanjuti pernyataan Solidaritas Umat Islam Poso. Karena brutal setitik, rusak citra sebelanga. Jangan sampai itu terjadi pada lembaga penegak hukum seperti Polri.

Perlu diingat juga, narasi radikalisme dan terorisme hanyalah salah satu strategi Barat untuk mencitraburukkan Islam. Menggiring opini kepada publik bahwa Islam ajaran radikal. Menebar virus Islamofobia. Target mereka adalah membuat umat Islam beragama cukup ala kadarnya saja. Saat umat mulai tergerak berislam secara kaffah, bibit radikal otomatis tersemat. Seakan ingin mengatakan, berislam itu yang normal saja, jangan terlalu ekstrim ke kiri ataupun kekanan. Apa yang dimaksud ekstrem sendiri juga tidak jelas maknanya.

Semoga Qidam adalah yang terakhir. Semoga keadilan terbuka untuknya. Allah terima amal ibadahnya dan melapangkan kuburnya. Dan bagi yang sudah menzaliminya, semoga Allah buka borok dan aib mereka. Mari gunakan iman dan nalar sehat agar tak terjebak dengan narasi radikal buatan Barat dan sekutunya.

Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Artikel Terkait

Back to top button