TELADAN

Sepucuk Surat Umar untuk Seorang Hakimnya

Dalam isi surat Umar Al Faruq kepada salah seorang hakimnya, Abu Musa Al-Asy’ari diatas terkandung di dalamnya etika-etika seorang hakim dan dasar-dasar yang harus diterapkan dalam sebuah pengadilan. Menurut Doktor Muhammad Shalabi, penulis buku Syakhsiyatu Umar Wa Aruhu, surat Umar diatas lebih agung dari pada surat-surat yang ditulis oleh presiden zaman sekarang. Itulah salah satu upaya Umar untuk menegakkan keadilan dan menjadikan lembaga peradilan sebagai penegak hukum yang bersih, berwibawa dan bebas dari intervensi siapapun.

Di masa Umar, seorang hakim setidaknya harus memiliki tujuh sifat dan karakter. Di antaranya, mengetahui hukum-hukum syariat, bertaqwa, tidak mengharapkan sesuatu yang dimiliki orang lain, cerdas dan pandai, bersikap tegas tapi tidak kasar dan bersikap lembut tapi tidak lemah, kuat kepribadiannya dan hakim tersebut adalah orang yang telah memiliki harta dan kedudukan.

Untuk menjamin hakim bersikap adil, Umar menyaratkan lima belas hal. Kelima belas hal tersebut antara lain: Ikhlas kepada Allah, memahami persoalan, memutuskan hukum sesuai syariat Islam, selalu bermusyawarah jika menemui persoalan, menganggap pihak yang sedang bermasalah kedudukannya sama, memberi semangat kepada yang lemah, memutuskan perkara orang asing dengan segera, menjamin hak-haknya dan memberikan nafkah kepada keluarganya.

Selain itu seorang hakim juga harus memiliki sifat lapang dada, menjauhi hal-hal yang dapat mempengaruhi putusan, menggunakan bukti-bukti yang tampak bukan sebaliknya, selalu mendamaikan orang-orang yang bersengketa, kembali kepada kebenaran, tetap menganggap bebas pihak terdakwa sampai terbukti dakwaannya, tidak melakukan ijtihad selama ada dalil, tunduk pada putusan pengadilan.

Hakim juga selalu diingatkan dengan hadits Rasulullah Saw, “Hakim itu ada tiga, dua orang di neraka dan seorang lagi di surga. Seorang yang tahu kebenaran dan ia memutuskan dengannya, maka ia di surga; seorang yang tahu kebenaran, namun ia tidak memutuskan dengannya, maka ia di neraka; dan seorang yang tidak tahu kebenaran dan ia memutuskan untuk masyarakat dengan ketidaktahuan, maka ia di neraka.”

Ini karena putusan hakim dalam Islam bersifat final. Islam tidak mengenal istilah banding. Sebab putusan seorang hakim adalah hasil ijtihadnya yang tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad dari hakim lain. Karena itu Islam tidak mengenal adanya jenjang seperti Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan kemudian Mahkamah Agung. Dalam Islam pengadilannya adalah tunggal. Karena itu syarat-syarat menjadi hakim sangatlah berat.

Meski demikian, Islam pernah melahirkan hakim-hakim yang brilian dan terbukti adil dalam memutuskan persoalan. Salah satunya adalah hakim yang diangkat Umar, Syuraih. Hakim-hakim seperti Syuraih ini telah membuat peradilan sebagai sebuah lembaga penegak hukum yang bersih, berwibawa dan adil. Keadilan yang sesungguhnya, tanpa pandang bulu. Keadilan Islam itu terus berlangsung sepanjang sejarah hingga syariat Islam secara perlahan diganti dengan hukum-hukum sekuler Barat.

(Shodiq Ramadhan)

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button