SUARA PEMBACA

Solusi Islam atas Problem Perburuhan

May Day, hari ‘keramat’ buruh sedunia. Untuk dalam negeri, tahun ini masih diwarnai dengan puluhan ribu buruh turun ke jalan serentak di 300 daerah. Tentu saja masih disertai dengan tuntutan-tuntutan yang terkait dengan ketidak adilan yang dialami buruh selama ini.

Penolakan UU Cipta Kerja dan permohonan pegujian UU yang merugikan buruh, nyaring terdengar dalam tuntutan buruh tahun ini. Harus diakui nasib buruh masih jauh dari harapan, baik dari sisi kesejahteraan maupun bargaining position.

Seabad peringatan May Day di Indonesia, polemik buruh tak pernah usai. Pro kontra antara pengusaha dan buruh selalu mewarnai dinamika ekonomi nasional tiap tahunnya. Baik terkait upah, jam kerja, kontrak kerja, pesangon, tunjangan, cuti dan sebagainya. Di satu sisi buruh menganggap pengusaha belum memenuhi hak mereka terkait kesejahteraan. Di sisi lain pengusaha menganggap produktivitas buruh harus disinkronkran dengan kemampuan finansial perusahaan.

Berbagai upaya duduk bersama untuk mencari solusi masalah menemui jalan buntu. Pun sama dengan berbagai kebijakan dan regulasi pemerintah terkait buruh, berat sebelah. Sarat dengan akomodasi kepentingan pengusaha dan eliminasi hak buruh. Wajar, karena pengusaha yang notebene kapitalis ‘bermain’ dalam pembuatan kebijakan dan regulasi tersebut. Pemerintah cenderung tutup mata telinga dengan suara-suara buruh yang tak pernah bosan memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan. Salah satunya nampak dari legislasi omnibus law yang berdampak telak ‘mematikan’ buruh.

Duduk Masalah Buruh

Benang kusut masalah buruh tak akan bisa terurai, kecuali diketahui permasalahan mendasarnya. Pertama, pandangan stereotipe antara kedudukan pengusaha (kapitalis) dan buruh. Sudah rahasia umum, dalam sistem kapitalisme pengusaha adalah bos. Dirinya berkuasa mutlak menetapkan dan mengikat buruh yang bekerja padanya. Sebaliknya buruh kedudukannya lemah, tak ada posisi tawar. Karena denyut ekonomi dirinya dan keluarganya tergantung pada pengusaha. Sehingga ada gap antara pengusaha dan buruh.

Pandangan ini berkonsekuensi pada upah buruh. Dianggap hal yang wajar jika upah didasarkan kebutuhan hidup minimum seorang buruh untuk bertahan hidup selama satu bulan. Artinya upah hanya sekadar bisa dipakai untuk biaya barang konsumsi langsung dalam taraf amat sederhana. Jika ingin lebih dari itu dibutuhkan pengorbanan tenaga dan waktu yang lebih dari ketentuan. Jelas ini adalah bentuk ketidakadilan dan pengeksploitasian. Gambaran ekonomi buruh adalah kehidupan minimalis yang jauh dari kelayakan.

Kedua, pengalihan beban tanggung jawab negara ke pundak pengusaha. Salah satu yang dituntut oleh buruh dalam kenaikan upah adalah biaya pendidikan, kesehatan dan perumahan. Di satu sisi buruh dengan peluh keringatnya, ingin diri dan keluarganya mengecap pelayanan pendidikan, kesehatan dan perumahan layak. Tapi di sisi lain pengusaha ‘angkat tangan’ untuk membiayainya. Karena tak dipungkiri biaya dari hal-hal tersebut tinggi. Seharusnya biaya pendidikan dan kesehatan bukan tanggung jawab pengusaha tapi negara sebagai pelayan rakyat. Tapi hari ini tanggung jawab ini dilimpahkan pada pengusaha.

Buruh Butuh Solusi Islam

Sekulerime yang tak menerapkan sistem ekonomi Islam dalam kehidupan negara hari ini, tak hanya berkonsekuensi pada ketidak adilan dan kemiskinan. Tapi juga ‘buta’ nya umat akan solusi Islam dalam permasalahan ekonomi, termasuk masalah buruh.

Buruh dalam konteks Islam terkategori hukum ijarah al ajiir (kontrak kerja). Hukum yang menjelaskan musta’jir (majikan) mengambil manfaat (jasa) dari ajir (pekerja) dan ajir yang mengambil harta (upah) dari musta’jir. Dalam akad ijarah antara majikan dan pekerja harus ada kejelasan dan kesepakatan terkait jenis pekerjaan, waktu kerja, dan upah kerja.

Disyaratkan kejelasan untuk menghilangkan kekaburan pekerjaan, yang akan berakibat kezaliman pada salah satu pihak. Disyaratkan kesepakatan untuk mewujudkan keridhaan kedua belah pihak dalam pekerjaan.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button