LAPORAN KHUSUS

Sumur-Sumur Tua Pembantaian PKI

“Waktu itulah saya mendadak ingat pelajaran pencak yang pernah saya peroleh dari pesantren,” tutur Roqib yang pernah nyantri di Pesantren Mamba’ul Ulum, Walikukun itu. Maka dengan gerak reflek, Rokib menghentakkan tangan kirinya sambil menendangkan kaki ke samping hingga berhasil melepaskan tangannya dari pegangan orang PKI. Kemudian dengan sekuat tenaga, Roqib lari menghindari kepungan orang-orang PKI.

“Hooii… tawanane ucul!,” teriak orang-orang PKI seperti yang ditirukan Roqib, saat mereka mengejarnya di antara tanaman ketela pohon dan semak yang lain. Tetapi pelarian Rokib itu hanya beberapa jam saja. Sebab menjelang siang hari, dia tertangkap lagi oleh PKI di tengah tegalan. Setelah tertangkap, Roqib mengungkapkan dirinya digebuki habis-habisan oleh PKI. Hampir sepekan Roqib diikat dengan erat dan disatukan dengan sekitar 300-an orang tawanan yang lain. Kemudian dia digiring ke timur menuju Gorang Gareng.

Tetapi, ajal belum mendatanginya. Roqib selamat dari pembantaian PKI yang membabi buta di kamar-kamar loji Gorang-Gareng itu.

“Saya bersama dua orang yang selamat, berusaha bangkit dari timbunan mayat (orang-orang yang dibantai PKI). Astaghfirullah…ruangan ini benar-benar banjir darah. Saya masih ingat, ketika Siliwangi datang pada lewat tengah hari, pintu kamar didobrak dari luar. Daun pintunya sempal dan roboh, jatuh ke lantai. Saking banyaknya darah membanjir di lantai, daun pintu yang tebalnya lebih 4 cm itu mengapung di atas genangan darah. Saya melangkah ke luar pun, merasakan betapa banjir darah yang menggenang di lantai kamar dan sepanjang koridor, mencapai di atas mata kaki saya,” kisah Kiyai Roqib seperti ditulis Halwan Aliuddin 2005 lalu.

Lain lagi kisah dari Kiai Daenuri. KH Achmad Daenuri adalah pimpinan Pondok Pesantren Ath Thohirin, Mojopurno, Magetan. Ia adalah salah satu putra KH Soelaiman Zuhdi Affandi, salah satu korban kekejaman PKI 1948. Menurut Daenuri, ayahnya ditangkap PKI, bersamaan dengan ditangkapnya Bupati Magetan Sudibjo. Sementara adik kandung ayahnya, KH. Imam Sofwan yang menjadi pimpinan Pesantren Kebonsari, ditangkap PKI bersama dengan dua putranya yakni Kiai Zubair dan Kiai Bawani.

Pada 1948, Kiai Daenuri baru berusia 10 tahun. Ia melihat ayahnya Kiai Affandi ditangkap PKI dengan cara licik. “Ketika beliau sedang iktikaf di Masjid, dibopong dari belakang dan diculik,” terangnya. Kiai Affandi diseret-seret dan disekap bersama ratusan tawanan lain, umumnya tokoh agama dan partai, di rumah loji Belanda di kawasan Pabrik Gula Gorang-Gareng (kini Pabrik Gula Rejosari, Magetan).

Dari tempat penyekapan ini, ayahnya bersama sejumlah tawanan lain dipindahkan ke desa Soco, Magetan dengan menggunakan kereta api lori pengangkut gula dan tebu. Gerbong kereta sangat sempit dan dijejali puluhan tawanan lain. Kiai Daenuri mendapat kesaksian tentang kematian ayahnya ini dari beberapa tawanan lain yang selamat. Selama dalam penyekapan itu ayahnya mendapat siksaan yang keji, namun berbagai penyiksaan itu tidak mampu membunuh ayahnya.

“PKI jengkel menghadapi Kiai yang demikian digdaya, tidak mempan senjata tajam apapun bahkan kebal peluru senjata api. Karenanya pada suatu kesempatan, ketika beliau meminta izin untuk mengambil air wudhu, seorang anggota PKI mendorong beliau hingga tercebur ke dalam sumur. Segera setelah itu sumur ditimbun dengan puluhan hingga ratusan jenazah lain dari para syuhada. KH Soelaiman Zuhdi Affandi dikubur hidup-hidup oleh PKI,” papar Kiyai Daenuri.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button