LAPORAN KHUSUS

Sumur-Sumur Tua Pembantaian PKI

Pada Ahad, 19 September 1948, kurir PKI mendatangi pesantren dan menyampaikan pesan, Kiai Imam Mursjid belum bisa pulang. Mereka malah mengatakan perundingan tersebut membutuhkan kehadiran Kiai Muhammad Noer, sepupu Kiai Imam Mursjid yang juga mengasuh Pesantren Takeran. “Waktu itu mereka mengatakan bahwa Mas Imam Nursjid baru bisa pulang kalau Kiai Muhammad Noer datang menjemput,” kata Kamil.

Begitu mendengar pesan dari kurir itu, Kiai Muhammad Noer diam-diam mendatangi markas PKI di Gorang Gareng, 6 kilometer di sebelah barat Takeran. Tapi di tengah jalan, ia ditangkap PKI dan sempat ditawan di sebuah tempat di Takeran. Kurir PKI berulang kali datang lagi ke pesantren setelah Kiai Muhammad Noer dibawa ke Gorang Gareng. Dia mengatakan, Kiai Imam Mursjid dan Kiai Muhammad Noer baru bisa kembali setelah Ustaz Muhammad Tarmudji, adik Kiai Imam Mursjid yang juga sebagai tokoh pemuda, datang menjemput ke Gorang Gareng.

Mendapat informasi seperti itu, Tarmudji secepatnya menyelamatkan diri. Apalagi dia juga mendapat informasi bila dirinya saat itu yang dicari PKI. Tarmudji lolos, tetapi PKI menangkapi sejumlah tokoh pesantren seperti Ustaz Ahmad Baidawy, Muhammad Maidjo, Rofi’i, Tjiptomartono, Kadimin, Reksosiswojo, Husein, Hartono, dan Hadi Addaba’. Hadi adalah guru pesantren yang didatangkan dari Al-Azhar, Kairo.

Mereka itu, semuanya, pada akhirnya tidak pernah kembali lagi. Sebagian besar ditemukan sudah menjadi mayat di lubang-lubang pembantaian PKI yang tersebar di berbagai tempat di Magetan. Bahkan hingga tahun 1990, jenazah Kiai Imam Mursjid tak kunjung ditemukan. Dari daftar korban yang dibuat PKI sendiri -daftar ini ditemukan oleh pasukan Siliwangi-, nama Kiai Imam Mursjid malah tidak ada.

Monumen Kresek, Madiun, untuk mengenang para korban Pemberontakan PKI di Madiun 1948.

Pembantaian Cigrok

Di Desa Cigrok, sebelah selatan Takeran, terdapat sumur tua yang digunakan PKI sebagai tempat pembuangan korban-korbannya. Sumur tua Cigrok ini terletak di belakang rumah To Teruno, seorang warga biasa dan bukan anggota PKI. Justru dialah yang melaporkan kegiatan PKI di sumurnya itu kepada Kepala Desanya. Di dekat rumah To Teruno, tinggal pula Muslim, seorang santri saksi mata kebiadaban PKI saat melakukan pembantaian di sumur tua itu.

Muslim bercerita, pada malam terjadinya penjagalan itu, semua orang tak berani keluar rumah. Malam itu, dia mendengar suara bentakan Surat, pimpinan PKI yang berasal dari Desa Petungredjo. Dia juga mendengar suara orang menjerit histeris karena dianiaya. Muslim, yang diam-diam mengintip melalui lubang dari rumahnya, melihat gerak-gerik orang-orang PKI itu dalam keremangan malam. Muslim dapat mengenali salah satu korban yang mengumandangkan azan dari dalam sumur. Suara itu, menurutnya adalah suara KH Imam Sofwan dari Pesantren Kebonsari.

Achmad Idris, tokoh Masyumi di Desa Cigrok yang ketika itu sudah ditawan PKI, menyaksikan penjagalan biadab PKI dari kejauhan. Meskipun sayup-sayup, dia sangat mengenal suara azan KH Imam Sofwan yang mengumandang dari dalam sumur itu, sebab Idris sering mendengarkan pengajian-pengajian Kiai Imam Sofwan.

Menurut Idris, pembantaian PKI di sumur Cigrok itu tidak dilakukan dengan senapan atau Klewang, tetapi dengan pentungan. Idris bercerita, para tawanan dengan tangan terikat dihadapkan ke arah timur sumur satu demi satu. Kemudian, seorang algojo PKI menghantamkan pentungan ke bagian belakang tiap tawanan tersebut.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button