LAPORAN KHUSUS

Sumur-Sumur Tua Pembantaian PKI

Pembantaian Kiai Takeran

Monumen Soco di Magetan, Jatim, saksi bisu kekejaman dan pemberontakan PKI di Madiun 1948.

Di Magetan, pendukung PKI mengincar tokoh-tokoh dari Pesantren Takeran atau yang lebih dikenal dengan Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) yang dianggap sebagai musuh utama mereka. Sebab, Pesantren Takeran pimpinan Kiai Imam Mursjid Muttaqien yang masih berusia 28 tahun itu adalah pesantren yang paling berwibawa di kawasan Magetan.

Jumat, 17 September 1948, Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang berasal dari Tulungagung dan Tegal Rejo berpamitan kepada Kiai Imam Mursjid. Kepergian Kiai Hamzah dan Kiai Nurun ke Burikan itu ternyata untuk yang terakhir kalinya. Sebab pada Sabtu, 18 September 1948, Pesantren Burikan diserbu oleh PKI, dan tokoh-tokoh pesantren serta para santri, termasuk Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang masih ada di pesantren tersebut, diseret ke Desa Batokan yang berjarak 500 meter dari Pesantren Burikan. Kiai Hamzah dan Kiai Nurun termasuk diantara para korban yang dibantai oleh PKI di lubang pembantaian Batokan.

Kiai Imam Mursjid sendiri seusai shalat Jumat pada 17 September 1948, didatangi sejumlah tokoh PKI, seperti Suhud dan Ilyas alias Sipit. “Sipit sebenarnya santri Mas Imam Mursjid. Tapi entah mengapa dia bisa menjadi PKI,” ujar Kamil, salah seorang saksi mata. Menurut Kamil, Kiai Mursjid sendiri sudah tidak percaya terhadap Sipit karena ia sudah meninggalkan shalat.

Siang itu Kiai Imam Mursjid diajak keluar dari mushala kecil di sisi rumah Kamil. Menurut Kamil, Kiai Mursjid akan diajak bermusyawarah terkait Republik Soviet Indonesia dengan PKI-nya. Rencana keberangkatan Kiai Imam Mursjid bersama orang-orang PKI itu tentu saja merisaukan warga pesantren.

Untuk meyakinkan warga Pesantren, Suhud, salah seorang pimpinan gerombolan PKI, mengeluarkan dalil dari Al-Qur’an. “Suhud waktu itu malah mendalilkan innallaha laa yughayyiru bi qaumin, hatta yughaiyyiru maa bi anfusihim (Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu mengubah nasib mereka sendiri),” kenang Kamil.

Saat itu para santri di Takeran berkumpul dengan perasaan was-was terhadap rencana kepergian Kiai mereka bersama PKI. Setelah Suhud menenangkan suasana dengan dalilnya, di depan pendapa pesantren Kiai Imam Mursjid dinaikkan ke mobil. Tetapi sebelum mobil berangkat, Imam Faham, saudara sepupu Kiai Imam Mursjid sekaligus santrinya yang setia, meminta kepada PKI agar diperkenankan ikut naik mobil mendampingi gurunya itu. Permintaan Imam Faham itu disetujui oleh PKI. Mereka pun meluncur keluar kawasan pesantren.

Pada saat yang sama, ternyata Pesantren Takeran sudah dikepung oleh ratusan massa PKI. “Setelah Mas Imam Mursjid dibawa dengan mobil, saya melihat orang-orang PKI sudah berdiri melingkari pesantren. Mereka rata-rata berpakaian hitam dengan memakai ikat kepala merah dan bersenjata,” ujar Iskan, seorang saksi mata sambil menitikkan air mata mengenang gurunya yang sangat dipatuhi itu.

Menurut Iskan, PKI memang sudah mengancam, jika Kiai Imam Mursjid tak mau menyerah dan mendukung mereka, maka pesantren akan dibumihanguskan. Mungkin, kata Iskan, apabila Jumat siang itu Kiai Imam Mursjid tak berhasil dibawa PKI, bisa dipastikan pesantren akan dibakar dan dengan demikian korban akan sangat besar. Iskan menduga, Kiai Imam Mursjid mau ikut PKI untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih besar dari kalangan santri.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button