LAPORAN KHUSUS

Sumur-Sumur Tua Pembantaian PKI

Kekejian yang dilakukan PKI terhadap Kiai Dimyathi (Mbah Ngompak) lebih mengerikan lagi. “Ketika tengah melakukan shalat malam, Mbah Ngompak diseret keluar masjid, kemudian diikat, dan akhirnya diseret dengan menggunakan kuda hingga sejauh 10 km mencapai Kota Kawedanan Walikukun, Ngawi. Kabarnya ketika itu, Mbah Ngompak belum juga wafat. Penyeretan kemudian kembali dilakukan ke arah Ngrambe. Namun setelah berjalan sejauh empat kilometer, orang-orang PKI itu berhenti di sebuah jembatan di kawasan Wot Galeh. Dari atas jembatan ini, tubuh Mbah Ngompak dilempar ke sungai yang curam. Jasad beliau ditemukan sudah dalam kondisi yang sangat mengenaskan,” tutur Kiai Damami, salah seorang cucunya yang kini tinggal di Pesantren Tanjungsari, Jogorogo, Ngawi.

Bupati Magetan, Sudibjo juga tak kalah sadisnya dibantai PKI. Algojo PKI merentangkan tangga melintang sumur, lalu Sang Bupati itu dibaringkan di atasnya. Ketika dalam posisi terlentang itu, maka algojo menggergaji tubuhnya sampai terbelah menjadi dua bagian, dan langsung dijatuhkan ke dalam sumur. Nauzubillah.

Ada pula kisah seorang ibu, Nyonya Sakidi namanya. Ibu itu mendengar suaminya dibantai PKI di Soco. Dia menyusul kesana, sambil menggendong kedua anaknya yang berusia tiga tahun dan setahun. Dia nekad ingin melihat jenazah suaminya. Merasa repot menuruti keinginan perempuan itu, PKI lalu membantai perempuan malang itu, ia dimasukkan ke dalam sumur yang sama, sementara kedua anaknya melihat pembunuhan ibunya. Saking traumanya kedua anak tersebut selama berhari-hari hanya makan kembang, akhirnya adik Sakidi menyelamatkan kedua keponakannnya itu dan membawanya pergi keluar dari Magetan.

Kekejaman, kebuasan dan keganasan pengkhianatan PKI Madiun 1948 ini masih melekat dalam ingatan traumatik penduduk Takeran, Gorang Gareng, Soco, Cigrok, Magetan, Dungus, Kresek, dan sekitarnya. Sehingga ketika 17 tahun kemudian PKI meneror di Delanggu, Kanigoro, Bandar Betsy dan daerah lain dalam pemanasan Pra-Gestapu atau PKI, dengan klimaks pembunuhan enam jenderal pada 30 September 1965, warga Jawa Timur masih ingat secara persis apa yang terjadi 17 tahun silam.

Cukuplah bagi bangsa ini dua kali dikhianati oleh PKI. Tak terhitung jumlah umat Islam, para santri dan Kiai, yang mereka bantai dan dimasukkan ke lubang-lubang sumur tua.

Kini, 72 tahun sudah berlalu Peristiwa Pemberontakan PKI Madiun dan 55 tahun berlalu G 30 S/PKI, rupanya bibit-bibit kebangkitan PKI bersemai lagi dalam bentuk PKI Gaya Baru. Anak cucu para pemberontak dan pembantai itu tak segan-segan lagi menampakkan identitas mereka sebagai anak PKI, bahkan dengan bangganya menulis buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI.” Mereka kini merangsek masuk ke pemerintahan dan legislatif.

Bersamaan dengan itu, mereka yang didukung oleh aktivis-aktivis LSM, terus menyuarakan pencabutan Tap MPRS No. XXV/1966 tentang larangan PKI dan Komunisme. Lebih dari itu, suara nyaring supaya negara meminta maaf kepada PKI juga terus terdengar.

Lalu, bagaimana dengan umat Islam?. Cukup bagi umat Islam satu pepatah “Hanya keledai yang jatuh ke lubang (sumur) yang sama dua kali.” Panutan umat Islam, Nabiyullah Muhammad Saw, 14 abad yang lalu sudah memberikan wejangan, “Seorang mukmin tidak boleh dua kali jatuh dalam lubang yang sama.” Semoga umat ini selalu sadar, waspada dan dijaga Allah SWT. Aamiin.

(shodiq ramadhan/jejakislam.net/sharia.co.id)

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6

Artikel Terkait

Back to top button