NUIM HIDAYAT

Wahid Hasyim dan Perjuangan Konstitusi Islam Indonesia

Kiprah Wahid di MIAI tak lama. Pada September 1941, setahun setelah menjadi Ketua MIAI, ia mengundurkan diri karena akan memimpin Pesantren Tebu Ireng menggantikan bapaknya, Kiai Hasyim Asy’ari.

Wahid juga memimpin buletin Suluh Nahdhatul Ulama. Selain sebagai pemimpin, Wahid juga seorang penulis. Banyak tulisannya yang dimuat di Suara NU dan Berita NU. Meski aktif di NU, ia juga berteman akrab dengan Mohammad Natsir, dari Masyumi.

Tahun 1949-1950, Wahid diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Menteri Agama. Saat menduduki jabatan itu, ia banyak melakukan hal yang penting dan strategis. Diantaranya ia mengeluarkan Peraturan Pemerintah 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum.

Wahid juga mendirikan pendidikan guru agama di berbagai daerah antara lain: Jakarta, Bandung, Salatiga, Pamekasan, Tanjung Karang, Padang, Aceh, Tanjung Pinang dan Banjarmasin. Ia juga memelopori pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN).

Penyelenggaraan PTAIN ini selanjutnya diatur dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan tertanggal 21 Oktober 1951 yang diteken Wahid Hasyim dan Mr Wongsonegoro. (Lihat buku: Nugroho Dewanto dan Redaksi KPG, Wahid Hasyim Untuk Republik dari Tebuireng, KPG, 2016).

Sebelumnya, pada 1943, saat menjadi Wakil Ketua Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), Wahid merintis pembentukan Barisan Hizbullah, yang membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan.

Peranan Wahid Hasyim juga cukup monumental ketika ia memperjuangkan kata Islam agar masuk menjadi konstitusi negara. Hal itu dimulai ketika BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 11 Juli 1945 mengadakan rapat pleno membahas isi Piagam Jakarta yang telah disahkan oleh Tim Sembilan pada 22 Juni 1945.

Tim Sembilan beranggotakan Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Achmad Soebardjo, Muhammad Yamin, dan Wahid Hasyim. Berusia 31 tahum, saat itu Wahid adalah Ketua Umum Nahdlatul Ulama.

Jadi pangkal utama perdebatan itu pada tujuh kata rancangan pembukaan UUD 1945: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Anggota BPUPKI seperti Latuharhary, Wongsonegoro, dan Hoesein Djajadiningrat mengungkapkan keberatannya. Mereka khawatir klausul itu menimbulkan dampak bagi pemeluk agama lain, bergesekan dengan hokum adat atau memaksa pelaksanaan ajaran Islam untuk pemeluknya.

Menanggapi keberatan itu Wahid Hasyim di kursi nomor 50 dengan lantang mengatakan,”Ada yang menganggap kalimat ini tajam, ada juga yang menganggap kurang tajam.”

Untuk menenangkan rapat Presiden Soekarno mengingatkan kembali bahwa tujuh kata itu merupakan kompromi dua kelompok: muslim nasionalis dan sekuler nasionalis. “Kalau kalimat ini tidak dimasukkan, tidak bisa diterima oleh kaum Islam,” katanya. Profesor Soepomo, anggota BPUPKI mengomentari perdebatan itu sebagai, “polarisasi yang terbentuk sejak awal Badan Penyelidik bersidang: Indonesia sebagai negara Islam atau bukan.”

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button