OPINI

111 Tahun Pak Natsir, Menteri Berkemeja Tambalan

Siti Muchliesah, putri Pak Natsir, suatu kali mendengarkan perbincangan ayahnya dengan seseorang dari Medan. Orang tersebut menawarkan mobil sedan mewah Chevrolet Impala. Namun, dengan halus Pak Natsir menolaknya.

Pak Natsir menguasai bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, dan Arab. Hidupnya penuh warna. Selain ulama, penulis produktif, dan politisi handal, Pak Nasir juga suka karya-karya Mozart dan Beethoven. Bersama sahabatnya, Douwes Dekker, Pak Natsir memainkan biola, Dekker bermain gitar.

Penggemar novel sastrawan Rusia, Boris Pasternak ini, menjadi Ketua Umum Masyumi pada 1949-1958. Pada pemilihan umum 1955, partai ini meraih tempat kedua dengan jumlah pemilih 7,6 juta (20,9 persen), di bawah Partai Nasional Indonesia, yang diketuai Presiden Soekarno (22,3 persen). Di bawah Masyumi, Nahdlatul Ulama (18,4 persen), dan PKI (16 persen).

Tiga tahun setelah Pemilu, Soekarno membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) tanpa proses pengadilan. Soekarno menuduh tokoh-tokoh Masyumi dan PSI terlibat Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), gerakan yang menuntut otonomi daerah.

Selain menuntut otonomi daerah –karena Sekarno dinilai mengabaikan kesejahteraan rakyat di luar Jawa– gerakan ini juga sebagai reaksi atas semakin kuatnya pengaruh PKI dalam pemerintahan Soekarno.

Negarawan

Sebagai pemimpin partai Islam Masyumi, peran besar Natsir dalam menyatukan kembali Indonesia dalam beberapa negara bagian, banyak dilupakan. Natsir yang ketika itu ketua Fraksi Masyumi di parlemen sementara, memperjuangan mosi, yang kemudian dikenal dengan nama Mosi Integral Natsir.

Mosi ini muncul sebagai reaksi Natsir atas hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, 1949. KMB menyetujui pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan 16 negara bagian lainnya. Natsir melihat, hasil KMB ini sebagai rencana Belanda untuk menguasai Indonesia kembali.

Di parlemen, Mosi Integral Natsir disepakati pada 2 April 1950. Semua fraksi setuju RIS berserta 16 negara bagian dibubarkan, diganti menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tugas Natsir berikutnya membujuk para pemimpin RIS dan 16 negara bagian untuk bergabung dalam NKRI.

Melalui lobi dan keluwesan diplomasi, Natsir berhasil membujuk para pemimpin tersebut. Wakil Presiden Mohammad Hatta menyebut Mosi Intergral Natsir ini bagaikan proklamasi kedua Indonesia setelah Proklamasi 17 Agustus 1945.

Setelah negara bagian bersatu, Presiden Soekarno mengangkat Natsir sebagai Perdana Menteri pertama Indonesia (1950-1951). Sebagai pemimpin partai Islam dan memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam politik, Natsir justru melibatkan pemimpin partai Kristen dan Katolik dalam kabinetnya, selain kalangan sosialis. Natsir menyebutnya sebagai zaken kabinet –kabinet ahli.

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button