OPINI

111 Tahun Pak Natsir, Menteri Berkemeja Tambalan

Mengenai hal ini, Natsir berprinsip negara ini harus diurus bersama. ”Untuk kepentingan bangsa, para politisi tidak bicara kami dan kamu, tetapi kita,” kata Natsir dalam wawancara dengan Majalah Editor, 1988.

Pada 26 April 1951, Natsir mundur antara lain karena perbedaan tajam dengan Soekarno soal ideologi. Soekarno cenderung nasionalisme sekuler, seperti Turki semasa Mustafa Kemal Atatürk, yang menjadi idola Soekarno.

Menyusul gerakan PRRI dan pembubaran Masyumi serta PSI, pemerintah Soekarno menjebloskan Natsir ke penjara tanpa proses pengadilan, di Malang, pada 1962. Setelah pemerintah Soekarno jatuh dan diganti Orde Baru, Natsir dibebaskan. Namun, Masyumi tetap tidak boleh berdiri. Semangat Masyumi menjalar di Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).

Pada masa Orde Baru, Natsir tetap dikucilkan. Sebagai ketua Kongres Muslim Sedunia, Sekjen Rabitah al-Alam al-lslami (World Moslem League), dan Presiden The Oxford Centre for Islamic Studies London, Pak Natsir dilarang ke luar negeri mengikuti pertemuan organisasi-organisasi itu. Pak Natsir dicekal, terutama setelah menandatangani Petisi 50 yang mengkritisi Soeharto.

Namun demikian, sebagai negarawan, Pak Natsir tetap mengambil peran untuk kebaikan bangsa dan negara. Ketika Presiden Soeharto menemui kesulitan untuk memulihkan hubungan dengan Malaysia, Pak Natsir mengirim surat kepada sahabatnya PM Malaysia, Tengku Abdurrahman, agar menerima utusan Soeharto dalam memulihkan hubungan kedua negara.

Tidak hanya itu. Saat Orde Baru gagal meyakinkan Jepang untuk membantu pendanaan untuk Indonesia, Pak Natsir menyurati sahabatnya, Perdana Menteri Jepang Takeo Fukuda. Dari sini, atas inisiatif Jepang, didirikanlah International Governmental Group for Indonesia (IGGI).

“Mr Natsir meyakinkan saya untuk membantu Pemerintah Indonesia,” kata Fukuda. Ketika Pak Natsir wafat, 14 Maret 1993, Fukuda mengirim surat kepada keluarga Pak Natsir. Surat itu menyatakan kesedihan mendalam dan sangat kehilangan besar atas wafatnya Pak Natsir, sahabat baiknya.

Pak Natsir contoh poilitik beretika dan mendahului kepentingan negara. Dalam perdebatan hangat soal dasar negara di konstituante, Pak Natsir memutuskan menerima Pancasila, yang disebutnya sebagai titik temu dan jalan tengah semua golongan.

Di Parlemen, Pak Natsir sering berdebat keras soal-soal yang prinsipil dengan Ketua PKI, DN Aidit, namun setelah itu mereka minum teh dan pulang berboncengan dari Pejambon. “Sebagai pemimpin Masyumi, saya biasa minum teh bersama tokoh-tokoh PKI. Kami memusatkan diri kepada masalah, bukan pada pribadi,” kata Pak Natsir kepada Majalah Editor, 23 Juli 1988.

Pada masa Orde Baru, Pak Natsir lebih dihormati di luar negeri. Raja Faisal Arab Saudi memberinya “Faisal Award” pada 1980. Pak Natsir –yang menulis 45 buku, di antaranya Capita Selecta– menerima Doktor Honoris Causa dari Universitas Libanon, juga penghargaan dari Universitas Kebangsaan Malaysia, dan Universitas Sains dan Teknologi Malaysia.

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button