BKsPPI: Diksi ‘Kafir’ Sudah Baku dalam Syariat Islam
Bogor (SI Online) – Pimpinan Pusat Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI) menanggapi salah satu rekomendasi Munas Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) yaitu tidak menyebut kafir kepada Non-Muslim.
Ketua BKsPPI Prof Dr Didin Hafidhuddin menjelaskan, diksi ‘kafir’ merupakan diksi yang sudah baku dalam syariat Islam, yang bermakna tertutupnya jiwa seseorang dari kebenaran Islam yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Diksi ini digunakan dalam ayat-ayat Al-Qur’an baik yang diturunkan di Makkah, maupun di Madinah.
“Secara makna, setiap agama juga memiliki keyakinan ‘kafir’ yang sama terhadap siapa pun yang tidak mempercayai kebenaran agama yang dianut masing-masing, dan toleransi justru dibangun di atas saling menghargai iman yang memang berbeda dan tidak boleh disatukan,” jelasnya dalam pernyataan sikap BKsPPI yang diterima Suara Islam Online, Senin (4/3/2019).
Menurutnya, Umat Islam menolak paham saling mengkafirkan sesama umat Islam, namun hal ini tidak bisa menjadi justifikasi untuk menghilangkan makna kafir bagi non-Muslim yang wajib dibahas dalam ragam forum ilmiah, baik ta’lim, tabligh, khutbah jum’at, maupun di ruang-ruang pendidikan umat Islam karena menyangkut bab aqidah sebagai pondasi iman, dan karena sedikit kasus-kasus yang muncul ditujukan justru kepada Muslim, sehingga diskursus ini dipandang tidak kontekstual.
“Umat Islam tidak pernah terbiasa dan tidak pernah dibiasakan untuk menyebut kafir kepada Non-Muslim di ruang publik, justru umat Islam wajib menghadirkan adab atau akhlak terbaik kepada Non-Muslim, sehingga mengangkat isu ‘kafir’ dalam forum ilmiah Bahtsul Masail dipandang tidak memiliki justifikasi yang kuat,” jelasnya.
Kyai Didin menjelaskan, masalah kemusliman dan kekufuran adalah masalah aqidah yang jelas garis perbedaannya, tidak boleh mencampur dan mengaburkan antara haq dan batil. “Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diridhoi Allah, mencari agama di luar Islam adalah kesesatan dan ditolak oleh Allah,” tegasnya.
BKsPPI juga menolak segala macam upaya untuk meragukan, mengaburkan dan mengubah ajaran Islam yang telah ditetapkan Allah dalam Alquran.
Kata Kyai Didin, terdapat hal-hal yang lebih penting untuk diprioritaskan bagi keutuhan bangsa Indonesia. Salah satunya yang harus diperhatikan, seperti munculnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dibangun di atas naskah akademik yang sarat bermuatan Ideologi Trans Nasional Feminisme Radikal.
“Oleh karena itu, dalam situasi politik menuju 17 April 2019 ini, hendaknya para ulama dapat bersama-sama menciptakan situasi yang kondusif untuk keutuhan bangsa dan negara Indonesia, terutama untuk mengamalkan pesan Nabi Muhammad Saw.: “Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari perkara yang dilarang oleh Allah.” ungkap Kyai Didin.
Selain itu, BKsPPI juga mengimbau kepada seluruh masyarakat, ormas-ormas Islam dan pesantren untuk mewaspadai segala macam bentuk progam liberalisasi ajaran Islam yang menyesatkan umat.
red: adhila