Kudeta Myanmar Ancam Penyelesaian Kasus Rohingya
Kudeta yang dilakukan oleh militer Myanmar pada hari Senin, 1 Februari 2021 kemarin, telah memancing keprihatinan dunia. Semua pihak menganggap pengambilalihan kekuasaan dari pemerintah pimpinan Aung San Suu Kyi yang baru saja terpilih secara demokratis itu adalah kabar buruk bagi masa depan demokrasi di negara tersebut.
Seperti diketahui, sejumlah pemimpin sipil Myanmar, seperti Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, beserta sejumlah pejabat negara dan tokoh politik lainnya, telah ditangkapi dan ditahan oleh pihak militer pada dini hari kemarin.
Saya menilai kudeta di Negeri Pagoda Emas itu sebagai kemunduran demokrasi. BKSAP (Badan Kerjasama Antar-Parlemen) DPR RI sangat prihatin terhadap peristiwa tersebut. Kejadian itu bukan hanya kemunduran bagi proses demokrasi Myanmar, tapi juga bisa mempengaruhi persepsi dunia terhadap praktik demokrasi di ASEAN. Saya berharap pihak-pihak yang berseteru menggunakan penyelesaian hukum dan konstitusi, bukan pendekatan militer.
Sebagai anggota parlemen, saya juga sangat prihatin, sebab kudeta itu dilakukan saat parlemen baru Myanmar hasil Pemilu 2020 akan memulai persidangan. Pengambilalihan kekuasaan oleh militer Myanmar itu telah menghilangkan peran parlemen sebagai alat kontrol kekuasaan. Ini buruk bagi demokrasi. Kejadian ini perlu segera direspon oleh AIPA (ASEAN Inter-Parliamentary Assembly), yang merupakan organisasi parlemen negara-negara ASEAN.
Hingga 2011 silam, Myanmar memang diperintah oleh angkatan bersenjata. Namun, sesudah itu mereka melakukan reformasi demokrasi dan mengakhiri kekuasaan militer. Kudeta militer yang terjadi kemarin telah menarik mundur proses demokrasi yang sudah berjalan. Dan itu amat disayangkan.
Saya juga mencemaskan krisis politik di Myanmar ini akan menghambat penyelesaian tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya. Sebagai catatan, sejak 2017 silam ratusan ribu etnis Rohingya terusir dan telah mengungsi ke berbagai negara, termasuk Indonesia, karena tindakan keras militer Myanmar. Tindakan militer Myanmar ini jelas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) secara brutal.