NUIM HIDAYAT

Iman kepada yang Ghaib

الۤمّۤ ۚ ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۙ

“Alif Lām Mīm. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang beriman pada yang gaib, menegakkan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al Baqarah 1-3)

Iman kepada Allah memberi kita kekuatan yang maha dahsyat. Lihatlah kalimat La ilaaha illallah digunakan para pahlawan kita dalam mengusir penjajah. Pasukan Portugis dan Belanda akhirnya keyok setelah ratusan tahun menjajah Indonesia.

Meski Belanda memperkuat dengan senjata yang mutakhir, mereka tetap kalah ketika berperang melawan tentara dan rakyat Indonesia. Rakyat saat itu senjatanya adalah tauhidullah dan persenjataan yang sederhana, pedang, keris atau senjata pistol yang murah.

Semangat mengalahkan pasukan Kristen Belanda ini tidak pernah kendur. Dari generasi ke generasi terus tumbuh semangat perlawanan. Maka jangan heran meski Belanda menjajah lebih dari 300 tahun, tapi Belanda gagal dalam misi Kristenisasinya. Padahal waktu itu Belanda membawa ratusan (ribuan) misionaris-misionaris terbaiknya ke tanah air. Mereka hanya berhasil menancapkan misinya di Manado, sebagian di Maluku atau sebagian Sumatera utara. Daerah-daerah lainnya tetap mayoritas Islam.

Sayid Qutb dalam _Tafsir fi Zhilal_nya menyatakan, ”Iman kepada yang ghaib merupakan ambang pintu yang harus dilalui manusia agar bisa melampaui taraf kebinatangan yang tidak bisa mengetahui kecuali yang bisa dijangkau inderanya. Iman ini menuju martabat manusia yang bisa mengetahui bahwa wujud ini jauh lebih besar dan jauh lebih luas ketimbang wilayah kecil dan terbatas yang bisa dijangkau oleh indera atau peralatan yang merupakan perpanjangan indera manusia. Ini merupakan lompatan yang sangat jauh pengaruhnya dalam tashawwur (gambaran) manusia tentang hakikat wujud secara keseluruhan. Tentang hakikat wujud dirinya, tentang hakikat kekuatan-kekuatan yang bergerak di dalam entitas wujud ini, di dalam kesannya tentang alam raya dan kekuasaan serta pengaturan yang ada di balik alam raya.”

Selanjutnya tokoh besar Islam ini menguraikan, ”Karena itu orang yang hidup di dalam wilayah kecil yang bisa dijangkau oleh inderanya tidak sama dengan orang yang hidup di alam raya yang bisa dijangkau oleh akal dan bashirah (mata hatinya), dimana ia bisa menangkap getaran-getaran dan isyarat-isyaratnya di dalam dasar dan relung hatinya. Ia bisa merasakan bahwa dimensi waktu dan ruangnya jauh lebih luas ketimbang segala sesuatu yang bisa dijangkau oleh kesadarannya dalam umurnya yang pendek dan terbatas. Dan bahwa di balik alam, baik yang nyata maupun tersembunyi, ada hakikat yang lebih besar dari alam itu sendiri, yakni hakikat yang menjadi sumber keberadaan alam dan keberadaan dirinya, hakikat Dzat Ilahiyah yang tidak bisa dijangkau oleh penglihatan dan akal.”

Sayid Qutb juga menyatakan, iman kepada yang ghaib adalah merupakan persimpangan jalan dalam peningkatan manusia dari alam binatang. Tetapi kelompok materialis di zaman ini, sebagaimana kelompok materialis di setiap zaman, ingin membawa manusia mundur ke belakang…kembali ke alam binatang yang tidak mengakui keberadaan hal-hal di luar jangkauan indera. Mereka menamakan itu sebagai ‘kemajuan’, padahal ia merupakan malapetaka dimana Allah menghindarkan orang-orang mukmin darinya.

Selanjutnya Sayid Qutb menyatakan ,”Seorang mukmin memiliki mata rantai keturunan yang Panjang dan berakar lintas zaman. Sesungguhnya ia adalah bagian dari parade mulia yang dipandu oleh pemimpin yang mulia: Nuh, Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, Yusuf, Isa dan Muhammad Saw.

إِنَّ هَٰذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ

“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu (umat yang satu) dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (QS. al Anbiya’ 92)

Parade mulia lintas zaman ini, sejak dahulu kala menghadapi -sebagaimana tampak jelas di bawah naungan Al-Qur’an – berbagai sikap persoalan dan pengalaman yang sama sepanjang masa dan di setiap waktu, meskipun berlainan tempat dan beragam bangsa…Di setiap waktu dan tempat ia menghadapi kesesatan, kebutaan (hati dan fikiran), kesewenang-wenangan, hawa nafsu, penindasan, penyimpangan, teror dan pengusiran. Tetapi ia tetap berjalan di jalurnya yang benar dengan langkah yang teguh, dengan hati yang tenang, penuh keyakinan akan pertolongan Allah, penuh harap kepadaNya dan senantiasa membenarkan janji Allah yang pasti benar dan pasti terjadi.

وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِرُسُلِهِمْ لَنُخْرِجَنَّكُمْ مِّنْ اَرْضِنَآ اَوْ لَتَعُوْدُنَّ فِيْ مِلَّتِنَاۗ فَاَوْحٰٓى اِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ لَنُهْلِكَنَّ الظّٰلِمِيْنَ ۗ وَلَنُسْكِنَنَّكُمُ الْاَرْضَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ ۗذٰلِكَ لِمَنْ خَافَ مَقَامِيْ وَخَافَ وَعِيْدِ

“Orang-orang yang kufur berkata kepada rasul-rasul mereka, “Kami pasti akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu benar-benar kembali memeluk agama kami.” Maka, Tuhan mereka (para rasul) mewahyukan kepada mereka, “Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zalim itu. Kami pasti akan menempatkanmu di negeri-negeri itu setelah mereka. Yang demikian itu (berlaku) bagi orang yang takut akan kebesaran-Ku dan takut akan ancaman-Ku.” (QS. Ibrahim 13-14).

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button