SUARA PEMBACA

Fufufafa ‘Nepo Baby’ Politik Dinasti

Fufufafa naik daun dan bikin geger publik. Lantaran pemilik akun kaskus tersebut dikaitkan dengan Cawapres terpilih 2024/2029 (baca: ‘fufufafa’) negeri Konoha. Bahkan pakar telematika Roy Suryo, secara lugas mengatakan keyakinan 99,9 % terkait kepemilikan akun tersebut.

Publik menyorot tajam rekam jejak postingan fufufafa yang dianggap mesum, tak beretika dan rasial. Postingan fufufafa kerap menyerang dan melecehkan tokoh politik termasuk Prabowo Subianto, partai politik hingga pesohor tanpa bukti kuat di ruang virtual.

Postingan fufufafa menuai ragam reaksi publik. Setali tiga uang dengan reaksi pada karir politiknya yang melesat bak meteor. Tahun 2021, dengan lawan kotak kosong ‘fufufafa’ menang telak dan menduduki kursi nomor wahid di Surakarta. Belum panas kursi tersebut, ‘fufufafa’ gol bursa cawapres lewat jasa paman di ‘Mahkamah Keluarga’. ‘Fufufafa’ digandeng capres yang menjadi rival politik ayahnya saat pemilu 2019. Oktober 2024 mendatang, ‘fufufafa’ bersama Prabowo Subianto dipastikan melenggang masuk istana di tengah kisruh cerai politik antara keduanya.

Karir politik ‘fufufafa’ memang menyilaukan tapi publik banyak mengelus dada. Bukan tanpa alasan. Mengingat viral video di lini masa yang memotret ‘fufufafa’ memboyong koleksi berbagai mainan (tamiya, lego, action figure) saat undur diri dari walikota. Pun sama dengan pengakuan blak-blakan dirinya tak suka membaca buku, lebih suka membaca komik dan bacaan ringan. Hal ini terungkap saat talkshow dengan Najwa Shihab. Lantas tepatkah julukan nepo baby pada ‘fufufafa’ oleh media asing dalam capaian kekuasaannya hari ini?

Oligarki-Politik Dinasti Menjerat Negara

Diksi nepo baby memang tak tabu dalam sistem demokrasi. Mengingat konsep dasar dalam demokrasi adalah vox populi, vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Suara rakyat pondasi kekuasaan (pemimpin negara) dan kedaulatan (pembuatan hukum negara). Kekuasaan diperoleh dari popular vote (suara terbanyak) dalam pemilu. Kedaulatan diperoleh dari ‘urun rembug’ wakil rakyat dalam parlemen.

Konsep dasar ini manis kulitnya. Tapi membuka ruang suara rakyat berstandar pada kemashlahatan bukan kompetensi dan pelayanan. Wajar realita pahit suara rakyat terbeli bahkan termanipulasi oleh mashlahat para pemilik kapital (baca : oligarki) kerap terjadi.

Pemilik kapital bisa bermain di balik layar, mensupport penguasa tampil di muka raih kekuasaan. Bisa juga terjun sendiri berlaga dalam arena kekuasaan. Tak ada yang menafikkan sepak terjang sembilan naga dalam mendukung dan mengendalikan negara. Pun para pengusaha berbondong-bondong masuk dalam partai politik.

Alhasil hampir 55 % anggota parlemen adalah pengusaha. Para menteri kabinet pemerintahan juga mayoritas anggota partai. Bahkan presiden dan wakil presiden ada yang berlatar pengusaha.

Melirik produk hukum negara (UU, Perpu, Keppres dan sebagainya) sarat aroma kapitalistik. Misal, UU Cipta Kerja yang diketok palu malam hari oleh parlemen, sudah berjilid jilid didemo buruh. Ramai unjuk rasa pada UU Minerba yang dipandang para pakar bermasalah. Pun kontroversi UU IKN yang melabrak UUD tak lepas dari protes rakyat. Masih banyak lagi produk hukum pesanan sang tuan (oligarki) yang mengundang penolakan rakyat.

Kenikmatan berupa pundi-pundi materi, sanjungan dan kehormatan yang diperoleh dari kekuasaan menjadi adiktif bagi pemilik kapital (oligarki). Melanggengkan kekuasaan melalui tangan keluarga, kerabat dan kolega menjadi kebutuhan bahkan ambisi. Lumrah dilakukan dengan praktik machiavellian (menghalalkan segala cara). Acapkali state resources berupa birokrasi, anggaran, sosial budaya menjadi bancakan dalam praktik ini.

Ya politik dinasti adalah imbas intrinsik demokrasi. Nepotisme, kolusi, korupsi, politik transaksional maupun patronase selalu melingkupi atmosfer demokrasi. ‘Fufufafa’ hanyalah salah satu sampel dari menjamurnya politik dinasti di negeri ini. Tak hanya di Indonesia, negara lain penganut demokrasi pun mencatat jejak yang sama hingga kini. Misalnya, di Amerika Serikat ada dinasti Kennedy, Bush dan Clinton. Di India ada dinasti Nehru-Gandhi. Di Filipina ada dinasti Marcos dan Aquino. Di Singapura ada dinasti Lee Kuan Yew.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

BACA JUGA
Close
Back to top button