DAERAH

KH Athian Ali: Kasus GSG Arcamanik Bandung Bukan Intoleransi, tapi Penegakan Aturan

Bandung (SI Online) – Polemik terkait perubahan fungsi Gedung Serba Guna (GSG) Arcamanik menjadi tempat ibadah PGAK Santa Odilia kembali mencuat setelah ratusan warga yang tergabung dalam Forum Komunikasi Warga Arcamanik Berbhineka menggelar aksi damai pada Rabu (5/3/2025). Aksi damai tersebut berlangsung di Jalan Sky Air Nomor 19, Kelurahan Sukamiskin, Kecamatan Arcamanik, Kota Bandung.

Ketua Umum Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI), KH Athian Ali M.Dai, memberikan tanggapan terkait kasus tersebut dengan menekankan bahwa inti permasalahan bukanlah tentang penolakan terhadap ibadah atau tempat ibadah agama tertentu, melainkan pelanggaran regulasi terkait perubahan fungsi bangunan yakni dari GSG menjadi gereja.

“Sering kali terjadi pemutarbalikan fakta ketika kelompok minoritas di negeri ini melanggar aturan dan hukum terkait tempat ibadah. Biasanya ketika diingatkan, mereka berbalik menuduh pihak yang mengingatkan sebagai intoleran,” ujar Kiai Athian di Bandung, Rabu (12/03/2025).

Dalam pandangan Kiai Athian, terdapat upaya untuk memutarbalikkan fakta guna mencari pembenaran bahwa umat Kristen berada di pihak yang benar, padahal data di lapangan menunjukkan adanya pelanggaran aturan terkait pendirian rumah ibadah dan pemanfaatan rumah tempat tinggal atau bangunan tertentu untuk beribadah.

“Dalam ajaran Islam sendiri sangat dilarang melakukan kebohongan dengan memutar balikan fakta. Jadi tidak mungkin umat Islam melakukan kebohongan publik apalagi memanupulasi data dan fakta,” tegasnya.

Kiai Athian menegaskan, umat Islam sudah sangat toleran dan tidak perlu lagi diajari tentang sikap toleransi. Ia menjelaskan bahwa dalam prinsip Islam, Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk beriman atau tidak (QS Al Kahfi 29)

“Karenanya, seorang muslim akan menghormati hak orang lain dalam menentukan pilihannya. Dengan demikian ketika ada sementara pihak yang berbeda keyakinan bermaksud membangun rumah ibadah untuk beribadah sesuai keyakinan mereka, maka umat Islam dipastikan akan menghormati dan tidak mungkin mengganggu apalagi melarang,” paparnya.

KH Athian Ali mengingatkan bahwa pemimpin tertinggi Katolik, Paus Paulus, pernah dua kali menyampaikan pengakuan bahwa muslim di Indonesia sangat toleran terhadap agama lain. Meski umat Islam mayoritas, tidak pernah ada tindakan sewenang-wenang terhadap penganut agama minoritas.

“Namun sebaliknya, ketika umat Islam minoritas maka tidak sedikit umat Islam yang menghadapi berbagai perlakuan deskriminatif, ancaman, teror, hinaan, pelecehan bahkan pembantaian. Contohnya begitu sangat nyata yang terjadi di beberapa negara Eropa, Amerika, China (Uighur), India dan sebagainya.

Sepanjang sejarah, tambah KH Athian, umat Islam tidak pernah mengganggu agama lain, menghina kitab suci agama lain, atau melarang ibadah agama lain. Sesuai dengan prinsip “Lakum diinukum waliyadiin” (Untukmu agamamu, dan untukku agamaku) QS Al-Kafirun ayat 6 dan prinsip “Laa ikraha fiddin” (لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ) yang berarti tidak ada paksaan dalam beragama, QS Al-Baqarah 256.

“Jika Allah saja tidak memaksa manusia untuk beriman, maka apa hak kita untuk memaksa dan/atau melarang orang lain untuk memiliki keyakinan yang berbeda dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinanya” imbuhnya.

Untuk menjaga harmonisasi hubungan antar umat beragama di Indonesia, termasuk dalam hal pendirian rumah ibadah, pemerintah telah menetapkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 / Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button