RESONANSI

Cara Mohammad Natsir Mengokohkan NKRI

Dalam acara Rakornas dan Tasyakkur Milad ke-55 Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (Dewan Da’wah), di Padang, 24-26 Februari 2022, saya bertemu dengan beberapa dai senior Dewan Da’wah. Mereka sudah berdakwah di pelosok-pelosok Sumatra Barat sejak tahun 1970-an dan 1980-an.

Ustadz Adnan, misalnya, kini berumur 69 tahun. Awal tahun 1970-an ia dikirim Dewan Da’wah untuk berdakwah di Kepulauan Mentawai. Ada lagi Ustadz Mughni, asal Lamongan Jawa Timur. Lulus Madrasah Aliyah Paciran Lamongan, tahun 1981, ia mengikuti pelatihan dai selama 40 hari di Pesantren Darul Fallah Bogor. Lalu, ia dikirim ke daerah perbatasan Sumatra Barat dan Bengkulu. Hingga kini, kedua ustadz itu masih tetap aktif berdakwah.

Ada beberapa dai senior lainnya yang masih aktif. Beberapa diantaranya sudah wafat di tempat tugasnya. Alhamdulillah, puluhan dai muda, kini memperkuat aktivitas dakwah di wilayah Sumatera Barat. Begitu mulia tugas para dai itu. Mereka rela terjun ke tengah-tengah masyarakat pelosok, membina iman, taqwa, dan akhlak masyarakat. Tak jarang, mereka juga membantu pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Dewan Da’wah kini memiliki ribuan dai yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Mohammad Natsir, pendiri dan tokoh Dewan Da’wah, memiliki visi dan pandangan jauh ke depan dalam membangun Indonesia. Sebagai tokoh yang memelopori kembalinya Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pak Natsir punya cara yang unik dalam menjaga keutuhan dan kekokohan NKRI.

Pak Natsir memilih jalan dakwah untuk mengokohkan dan membangun bangsa. Dakwah bilhikmah, untuk kemajuan agama dan bangsa. Dan setelah 55 tahun usia Dewan Da’wah, hasil itu begitu nyata. Nasionalisme yang ditanamkan oleh para tokoh Islam, seperti Mohammad Natsir, adalah nasionalisme religius – bukan nasionalisme sekular. Artinya, cinta tanah air, merupakan refleksi keimanan kepada Allah SWT, sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945: negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sejak awal kedatangannya, pada abad ke-7 Masehi, Islam hadir di Nusantara ini bukan untuk menghancurkan atau memecah belah bangsa. Islam hadir untuk menyebarkan rahmat dan mewujudkan persatuan. Islam hadir bukan untuk memecah belah. Adalah pakar sejarah Melayu, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang telah lama dikenal dengan teorinya tentang peranan Islam dan bahasa Melayu dalam penyatuan Nusantara.

Prof. Naquib al-Atas juga mengingatkan adanya upaya untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara. Kata Prof. Al-Attas: ”Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini. Namun begitu, baik dalam tulisan Hurgronje maupun dalam tulisan Van Leur, tidak terdapat hujjah-hujjah ilmiah yang mempertahankan pandangan demikian mengenai Islam dan peranan sejarahnya.” (Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan, 1990).

Jadi, untuk mengokohkan NKRI, para tokoh Islam bersepakat, bahwa usaha yang harus dilakukan adalah membangun pribadi-pribadi muslim yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Itulah yang diamanahkan juga oleh UUD 1945 pasal 31 (3), bahwa pendidikan nasional kita harus meningkatkan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia.

Karena itulah, dalam acara Tasyakkur Milad ke-55, Dewan Da’wah meneguhkan jatidirinya sebagai lembaga dakwah dan pendidikan. Itulah, amanah para pendiri Dewan Da’wah. Tentu saja, dalam dakwah dan pendidikannya, para dai dan para guru harus mampu menghadirkan sosok-sosok muslim yang memiliki akhlak mulia. Mereka harus menjadi orang-orang yang memberi manfaat besar kepada masyarakat dan bangsanya. Itulah yang telah diajarkan dan dicontohkan oleh Mohammad Natsir, Buya Hamka, Sjafruddin Prawiranegara, Haji Agus Salim, dan para tokoh-tokoh Islam yang juga para pahlawan nasional.

Tahun 1951, Buya Hamka, pernah menulis satu artikel berjudul “Urat Tunggang Pancasila”, yang ditutup dengan satu kesimpulan:

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button